MAKALAH ULUMUL HADIST
INGKAR SUNNAH
DISUSUN OLEH:
MUHAMMAD REZA PALEVY, S.Sy
DOSEN PENGAMPU: DR. NUR BAETY, MA
PRODI EKONOMI SYARIAH
PASCASARJANA UIN AR-RANIRY
BANDA ACEH
TAHUN 2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sunnah merupakan sumber hukum kedua setelah
Al-Qur’an. Timbul perdebatan dalam memahami sunnah, apakah diterima sebagai
hujjah dalam menentukan sebuah hukum ataupun tidak. Perdebatan ini mulai muncul
pada masa klasik pada masa khalifah Abbasyiah semasa hidupnya seorang tokoh
ulama besar yaitu Imam asy-Syafi’i.
Sebenarnya mengenai masalah sunnah sendiri mulai
timbul pada masa Rasulullah, dimana Nabi Muhammad Saw melarang menulis hadits.
Pelarangan tersebut diartikan oleh sebagian kalangan sebagai penolakan hadits
dalam mengistimbatkan sebuah hukum. Jika melihat tujuan Rasul melarang menulis
hadits sungguh bertolak belakang dengan yang dimaksud oleh sebagian kaum yang
menolak sunnah.
Ingkar sunnah sendiri menurut hemat penulis mulai
muncul dari pasca peperangan perang Siffin antara kaum Muawiyah dan Ali.
Munculnya ingkar sunnah kemungkinan besar ada faktor politik didalamnya, baik
dalam menolak sunnah yang diriwayatkan oleh sahabat tertentu hingga membuat
hadits-hadits palsu. Hingga paham ingkar sunnah sudah bergejolak puncaknya pada
masa hidupnya Imam asy-Syafi’i dan beliaulah menentang para penolak sunnah
dengan argumennya yang ilmiah dan dapat diterima akal, sehingga beliau diberi
gelar “nashiru as-sunnah” yaitu penolong sunnah.
Dalam makalah ini penulis ingin menulis tebbagaimana
yang dimaksud dengan pemahaman ingkar sunnah, baik dari sisi sejarah, alasan
atau argumen kaum tertentu dalam menolak sunnah sebagai sumber ajaran dalam
Islam. Penulis melakukan penelitian secara library research (kajian
kepustakaan), mengutip dari beberapa buku baik langsung maupun tidak lansung
dan juga memuat kesimpulan berdasarkan analisa penulis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Pengertian “ingkar sunnah”
secara bahasa diartikan sebagai
menyangkal atau tidak membenarkan sunnah atau tidak menerima sesuatu
(sunnah). Secara terminologi diartikan sebagai paham yang timbul dalam
masyarakat Islam dalam menolak sunnah sebagai sumber dari ajaran Islam kedua
setelah Al-Qur’an.[1]
Ingkar sunnah merupakan sebuah sikap penolakan
terhadap sunnah Rasul, baik sebagian maupun keseluruhan. Mereka menciptakan
metode tertentu dalam menyingkapi sunnah sehingga mengakibatkan tertolaknya
sunnah baik sebagian maupun keseluruhan. Ingkar terhadap sunnah bukan berarti
mengingkari sunnah secara keseluruhan saja,
yang mengingkari sunnah sebagian maka disebut juga sebagai ingkar sunnah.
Ada tiga jenis kelompok ingkar sunnah. Pertama,
kelompok yang menolak hadits-hadits Rasulullah SAW secara keseluruhan. Kedua,
kelompok yang menolak hadits Nabi, yang kandungannya baik secara tersurat
ataupun tersirat yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Ketiga, kelompok
yang menolak hadits Nabi yang berstatus ahad walaupun shaih dan hanya meneriam
hadits yang bertaraf mutawatir.[2] Dapat disimpulkan bahwa ingkar sunnah merupakan penolakan terhadap
sunnah baik menyeluruh, sebagian dan menerima sunnah yang sesuai persyaratan
tertentu.
2.2. Sejarah
Ingkar Sunnah
Perkembangan ingkar sunnah terjadi pada dua masa yaitu masa klasik dan modern.
Menurut M. Mushthafa al-A’zhamiy, sejarah ingkar sunnah klasik terjadi pada
masa al-Syafi’i (w. 204 H). Abad modern ingkar sunnah kembali muncul di India
dan Mesir mulai dari abad ke-19 M/ 13 H hingga sekarang.[3]
2.2.1. Ingkar Sunnah Klasik
Pada masa sahabat sebenarnya ingkar sunnah sudah mulai muncul. Dituturkan
oleh Imam al-Hasan al-Basri (w. 110H), ada seorang sahabat yang begitu kurang
memahami dan memperhatikan kedudukan sunnah Nabi Saw. Ketika sahabat Nabi Saw
bernama ‘Imran bin Hushain (w. 52H) mengajarkan hadist,
seorang sahabat yang lain mengatakan untuk tidak mengajarkan hadist cukup
mengajarkan Al-Qur’an saja. Mendengar hal tersebut ‘Imran menjawab, “tahukah
Anda, seandainya Anda dan kawan-kawan Anda hanya memakai Al-Qur’an, apakah anda
dapat menemukan dalam Al-Qur’an bahwa shalat zhuhur
itu empat rakaat, shalat magrib tiga rakaat? Apabila Anda hanya memakai
Al-Qur’an dari mana Anda tahu bahwa tawaf (mengelilingi Ka’bah) dan sa’I antara
Shafa dan Marwa itu tujuh kali?”, mendengat jawaban itu, orang tersebut
berkata, “Anda telah menyadarkan saya”. Akhirnya sebelum wafat orang tersebut
menjadi ahli fiqh.[4]
Berkembanganya sikap pengingkaran terhadap sunnah Rasul Saw dengan argumen baru muncul pada penghujung abad ke-2 Hijriyah pada
awal masa Abbasiyah. Pada masa ini bermunculan kelompok ingkar sunnah di Irak tepatnya di Basrah. Menurut hemat penulis, munculnya ingkar sunnah di
Irak tidak terlepas dari pengaruh teologi Mu’tazilah pada masa itu karena
menjadi pusat teologi Mu’tazilah, pemahaman-pemahaman Mu’tazilah berkembang
sangat cepat (masyhur) hingga
mempengaruhi terhadap istimbath hukum dalam Islam. kita ketahui bahwa paham Mu’tazilah
lebih mengedepankan rasional (akal) sehingga bisa jadi mereka para ahli teologi
Mu’tazilah menolak hadist dan hanya menerima Al-Qur’an saja dalam menentukan
sebuah hukum, mencaci sahabat dan
membuat hadits palsu.
Imam Syafi’I yang hidup pada zaman dinasti Abbasyiah pernah menentang
pemahaman kaum ingkar sunnah pada masa itu. Menurut imam Syafi’i ada tiga kelompok
ingkar sunnah Pertama, kelompok yang mengingkari sunnah secara keseluruhan.
Kedua, kelompok yang mengingkari sunnah yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an atau semakna dengan Al-Qur’an. Ketiga, kelompok yang hanya menerima hadits
mutawattir saja.[5]
a.
Khawarij
Khawarij adalah kelompok yang
keluar dan tidak loyal kepada kepemimpinan Ali bin Abi Thalib ra atau kebalikan
daripada kaum Syiah. Ada sumber yang mengatakan bahwa hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh para sahabat sebelum terjadinya fitnah[6]
yang mengakibatkan terjadinya perang saudara. Sebelum kejadian tersebut para
sahabat dinilai sebagai orang-orang yang ‘adil[7] dan
hadits yang disampaikan diterima dengan baik oleh mereka[8].
Namun, sesudah kejadian fitnah tersebut, kelompok khawarij menilai mayoritas
sahabat Nabi SAW sudah keluar dari Islam dan menolak hadits-hadits yang diriwayatkan
oleh para sahabat.
Seluruh kitab-kitab tulisan orang-orang khawarij
sudah punah seiring dengan punahnya mazhab khawarij ini, kecuali kelompok
Ibadhiyah yang masih termasuk golongan khawarij. Kelompok ini menerima
hadits-hadits Nabawi, seperti hadits yang diriwayatkan oleh atau berasal dari
Ali, Usman, Aisyah, Abu Hurairah, Anas bin Malik, dan lainnya. Oleh karena itu,
pendapat yang menyatakan bahwa seluruh golongan khawarij menolak Hadits yang
diriwayatkan oleh Shahabat Nabi saw, baik sebelum maupun sesudah peristiwa
tahkim adalah tidak benar.[9] Tetapi tidak semua hadits
yang diriwayatkan oleh sahabat seperti Ali mereka terima, hadits-hadits yang
tidak sesuai dengan tujuan mereka maka akan ditolak.
b.
Syiah
Syiah merupakan pengikut
setia Ali bin Abi Thalib, dan menganggap Ali lebih utama daripada khalifah
sebelum Ali bin Abi Thalib. Golongan syiah yang masih eksis sampai sekarang
adalah kelompok Itsna ‘asyariyah,
kelompok ini masih menerima hadits daripada kelompok-kelompok yang lain. Adapun
yang membedakan kelompok ini dengan kelompok ahli sunnah (golongan mayoritas
umat Islam) adalah dalam hal penetapan hadits. Hadits yang mereka terima adalah
hadits yang diriwayatkan ahli bait selain dari itu mereka menolaknya walaupun
dari sahabat. Mereka tidak mengkafirkan seluruh sahabat Nabi tetapi mereka masih
menganggap bahwa masih ada sahabat Nabi yang tidak kafir atau masih Muslim.
c.
Mu’tazilah
Mu’tazilah merupakan pengikut dari Washil bin ‘Ata yang awalnya adalah
pengikut al-Hasan al-Basri kemudian memisahkan diri dari al-Hasan al-Basri ia
menganggap orang mukmin yang berdosa besar tidaklah kafir menurutnya orang
tersebut berada diantara dua tempat (manzilah baina manzilatain).
Apakah mu’tazilah menolak sunnah? Syekh Muhammad Al-Khudari Baik
berpendapat bahwa mu’tazilah menolak sunnah. pendapat ini berdasarkan adanya
diskusi antara Imam Asy-Syafi’i (w. 204 H) dan kelompok yang mengingkari
sunnah. Sementara kelompok atau aliran pada waktu itu di Bashrah Irak adalah
Mu’tazilah. Prof. Dr. Al- Siba’i tampaknya sependapat dengan pendapat
Al-Khudari ini.[10]
Kelompok mutazilah menerima sunnah seperti halnya umat Islam, tetapi mungkin ada beberapa hadits yang mereka
kritik apabila hal tersebut berlawanan dengan pemikiran mazhab mereka. Hal ini
tidak berarti mereka menolak hadits secara keseluruhan, melainkan hanya
menerima hadits yang bertaraf mutawatir saja.[11]
Menurut kesimpulan al-siba’iy, bahwa sikap mu’tazilah tidak menentu
apakah menolak sunnah atau menerima seluruhnya atau menolak sunnah ahad saja.
Namun secara umum dapat dikatakan bahwa mu’tazilah dengan ushul khamsah-nya
(falsafah madzhab mu’tazilah) dan konsep-konsep yang bermuara daripadanya
merupakan kaidah yang dipatuhi oleh teks Al-Qur’an dan sunnah. Ayat yang kontradiksi denga logika
ditakwilkan dan sunnah yang kontradiktif dengan rasio ditolak. Harun Nasution mengungkapkan bahwa kaum mu’tazilah tidak
begitu banyak berpegang pada sunnah atau tradisi, bukan tidak percaya pada
sunnah atau tradisi Nabi dan para
sahabat akan tetapi mereka ragu akan keorisinalan hadits yang mengandung sunnah
tersebut.[12]
Kaum
mu’tazilah mereka mengkritik ataupun menolak hadits yang berlawanan dengan
pemikiran mazhab mereka. Sehingga mereka tidak menolak hadits secara
keseluruhan. Pada masa klasik, Imam as-Syafi’i telah memainkan perannya dalam menundukkan
kelompok pengingkar sunnah. Setelah melalui perdebatan yang panjang, rasional,
dan ilmiah, pengingkar sunnah akhirnya tunduk dan menyatakan menerima hadis.
Oleh karena itu Imam as-Syafi’i
kemudian diberi julukan sebagai “nashir as-sunnah” (pembela Sunnah).
2.2.2. Ingkar Sunnah Modern
a.
Ingkar Sunnah
di India
Ingkar sunnah di India muncul
pada abad ke-19M, al-Qadiyanah yang dipelopori oleh Mirza Ghulam
Ahmad (w. 1908 M) dan al-Qur’aiyah yang dipelopori oleh Abdullah Jakralevi (w.
1918 M), mereka menolak seluruh sunnah.[13] Para tokoh yang lain seperti Ciragh ‘Ali
termasuk Mirza Ghulam Ahmad terpengaruh oleh pemikiran Barat.
b.
Ingkar Sunnah
di Mesir
Dipelopori oleh reformis Syekh
Muhammad Abduh (w. 1905 M) dan muridnya Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935 M).
Mereka menyerukan untuk membuka pintu Ijtihad, sehingga bermunculan pengikutnya
seperti Tawfiq Shidiqiy, Ahmad Amin, Mahmud Abu Rayyah, Ahmad Shubhiy Mansur,
dan Mushthafa Mahmud.[14]
Mereka menulis artikel-artikel di majalah al-Manar pimpinan Muhammad Rasyid
Ridha yang memuat pemahaman ingkar sunnah atas nama pembaharuan Ijtihad.
2.3.
Sebab-sebab Timbulnya Ingkar Sunnah Modern
1.
Faktor
Internal
Munculnya ide pembaharuan oleh
Syekh Muhammad Abduh untuk anjuran ijtihad kembali pada ajaran agama dan
mencela taklid. Menurutnya pintu ijtihad tidak pernah tertutup untuk kemajuan
umat Islam di masa modern.[15] Ahmad
Amin yang merupakan pengikut Muhammad Abduh, pemikirannya telah melampaui
gurunya sendiri dengan sangat liberal dan mengingkari sunnah salah satunya
adalah hadits tafsir Imam Ahmad.
2.
Faktor
Eksternal
Adanya penelitian yang tidak
objektif terhadap Islam dan dengan sengaja menyisipkan ide-ide untuk
merendahkan Islam, mencari-cari kekurangan Al-Qur’an dan sunnah. Hal tersebut
disebabkan faktor teologis yaitu rasa dendam kesumat dari kekalahan Barat dalam
perang salib, di samping adanya faktor politis imperialis ke dunia Timur.[16]
Orientalis Barat memang mempunyai andil besar dalam menghidupkan kembali
pemikiran ingkar sunnah modern di Mesir dengan cara membangkitkan kembali lagu
lama yang dibawa oleh ingkar sunnah klasik yaitu sebagian pemikiran khawarij, syiah,
dan muktazilah melalui tulisan-tulisan mereka.
2.4. Alasan Penolakan
Sunnah
Sebagai suatu paham atau
aliran, ingkar as-sunnah klasik ataupun modern memiliki argument-argumen yang
dijadikan landasan mereka. Tanpa argumen-argumen itu, pemikiran mereka tidak
berpengaruh apa-apa. Argumen mereka
antara lain:[17]
1. Agama bersifat konkrit dan pasti
Mereka
berpendapat bahwa agama harus dilandaskan pada hal yang pasti. Apabila kita
mengambil dam memakai hadits, berarti landasan agama itu tidak pasti.
2. Al-Quran sudah lengkap ( tidak
memerlukan penjelas )
Al-Quran tidak memerlukan
penjelasan, jika memerlukan penjelasan berarti kita secara jelas mendustakan Al-Quran
dan kedudukan al-quran yang membahas segala hal dengan tuntas. Oleh karena itu,
dalam syariat Allah tidak mungkin diambil pegangan lain, kecuali Al-Quran.
3.
Sunnah Bukan
Al-Qur’an atau Wahyu
Mereka
menolak sunnah secara menyeluruh, sunnah hanya dari Nabi dan tidak ada
keharusan mengikutinya. Sedangkan apa yang ditulisakan al-Bukhari hanya
pendapatnya sendiri.[18]
Penulis berpendapat bahwa mereka menolak hadits karena Nabi melarang menulis
hadits karena hadis bukanlah wahyu seperti Al-Qur’an.
4.
Sunnah Bukan
Hujjah dan Syariat
Mereka menganggap kitab induk
hadits enam merupakan hasil ijtihad ulama abad ketiga yang tidak tsiqah[19]
dan lebih dipengaruhi politik.[20] Sekelompok
pengingkar sunnah mengatakan sunnah hanya sebagai sejarah adakalanya benar dan
adakalanya salah.[21]
2.5. Dalil Kelompok Ingkar Sunnah
Dalil-dalil atau alasan-alasan
inkar sunnah dibagi menjadi dua macam, yaitu dalil Al-Qur’an dan alasan akal.
Yang berupa dalil Al-Qur’an diantaranya:
1.
Al-Qur’an
surat An-Nahl ayat 89
...وَ
نَزَّلنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَّ هُدًى وَّرَحْمَةً
وَ بُشْرَاى لِلْمُسْلِمِينَ....
Terjemahnya : “…..Kami turunkan
kepadamu Al-Qur’an untuk menjelaskan sesuatu, sebagai
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri”.
- Al-Qur’an surat al An’am ayat
38
مَا فَرَّطْنَا فِى
الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ اِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُوْنَ ....
Terjemahnya
: “Tidak kami alfakan sesuatupun didalam Kitab (Al-Qur’an), kemudian kepada Tuhan mereka dikumpulkan”.
3.
Al-Qur’an
surat Al-Maidah ayat 3
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ
لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ
الْاِسْلَامَ دِيْنًا . فَمَنِ اضْطُرَّ
فِى مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّاِثْمِ . فَاِنَّ اللّهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
.
Terjemahnya
: “Pada hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu dan telah Ku cukupkan kepadamu
nikmatKu dan telah Ku ridhai Islam
itu sebagai agamamu.”
Dari ketiga ayat diatas menunjukan bahwa
Al-Qur’an telah menunjukan semuanya (segala sesuatu). Pada ayat yang lain seperti Al-Qur’an surat Al-Fathir ayat 31 dan juga surat
Yunus ayat 36 dijadikan landasan mereka. Al-Qur’an
tidak membutuhkan keterangan tambahan lagi karena penjelasannya tentang islam
sebagai agama yang telah sempurna. Jadi hadits itu hanyalah persangkaan yang
tidak layak untuk dijadikan hujjah.
Adapun dalil akal
diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Al-Qur’an
dalam bahasa arab yang jelas, maka orang yang faham bahasa arab maka faham
terhadap Al-Qur’an.
2.
Perpecahan
umat islam karena berpegang pada hadits yang berbeda-beda.
3.
Hadits hanyalah
dongeng karena baru muncul pada zaman tabi’in dan tabi’ tabi’in.
4.
Tidak satu
hadits pun
dicatat di zaman Nabi. Dalam periode sebelumnya pencatatan hadits, manusia
berpeluang berbohong.
5.
Kritik
sanad baru muncul setelah satu setengah abad wafatnya Nabi.
6.
Konsep
tentang seluruh sahabat adil, muncul setelah abad ketiga Hijriyah.[22]
2.6. Lemahnya
Argumen Para Pengingkar Sunnah
1. Pada umumnya pemahaman ayat tersebut diselewengkan
maksudnya sesuai dengan kepentingan mereka. Surat an-Nahl ayat 89 merupakan alasan menolak sunnah secara keseluruhan. Surat an-Nahl ayat 89 sama
sekali tidak menolak hadits bahkan ayat
tersebut menekankan pentingnya hadits untuk
menjelaskan ayat-ayat yang bersifat global.
2.
Surat
Yunus ayat 36 yang dijadikan sebagai dalil mereka menolak hadits ahad sebagai
hujjah dan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan istilah
zhanni adalah tentang keyakinan yang menyekutukan Tuhan. Keyakinan itu
berdasarkan khayalan belaka dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara
ilmiah. Keyakinan yang dinyatakan sebagai zhanni pada ayat tersebut sama sekali
tidak ada hubungannya dan tidak ada
kesamaannya dengan tingkat kebenaran hasil penelitian kualitas hadits.
Keshahihan hadits ahad bukan didasarkan pada khayalan melainkan didasarkan pada
metodologi yang dapat dipertanggung jawabkan.[23]
Dapat disimpulkan bahwa penolakan sunnah oleh kaum ingkar sunnah adalah
untuk sesuatu kepentingan mereka belaka. Jika kita menafsirkan Al-Qur’an tanpa
menggunakan sunnah sungguh penafsiran yang dilakukan oleh kaum ingkar sunnah
malah hasil ijtihad yang tidak bisa dipertanggung-jawabkan. Sungguh yang
mengatahui penafsiran ayat Al-Qur’an hakikat Allah dan Nabi-Nya.
2.7.
Ingkar Sunnah
di Indonesia dan Tokoh-tokohnya
Pada tahun 1981 paham ingkar sunnah sudah ada seperti di Bogor pimpinan
oleh H. Endi Suradi dan 1982 aliran
sesat yang diajarkan H. Sanwani asal kelahiran Pasar Rumput itu sudah
berlangsung sejak November 1982. Dan para tokoh yang lain diantaranya[24]:
1. Ir.
M Ircham Sutarto
Ir. M. Ircham Sutarto adalah Ketua
Serikat Buruh Perusahaan Unilever Indonesia
di Cibubur Jawa Barat. Menurut
Hartono Ahmad Jaiz (Peneliti Ingkar Sunah) dialah tokoh Ingkar Sunah dan orang
pertama yang menulis diktat dengan tulisan tangan.
Di antara
ajarannya yang dimuat dalam Diktat dan
dikutip oleh Ahmad Husnan adalah sebagai berikut :
a)
Taat kepada Allah, Allah itu ghaib. Taat kepada
Rasul, Rasulpun telah wafat. Jadi tidak ada jalan kedua-duanya untuk
melaksanakan taat dengan arti yang sebenarnya (M Ircham Sutarto : 85).
b)
Allah telah mengajarkan Al-Qur’an kepada Rasul. Rasul telah mengajarkan Al-Qur’an kepada manusia. Al-Qur’an satu-satunya yang masih ada.
c)
Al- Qur’an adalah omongan Allah dan omongan
Rasul. Itulah arti taat kepada Allah dan
kepada Rasul (M Ircham Sutarto : 52 & 85)
d)
Keterangan al-Qur’an itu ada di dalam Al-Qur’an itu sendiri.
e)
Semua keterangan yang datang dari luar Al-Qur’an adalah hawa.
f)
Apa yang disebut hadis-hadis
Nabi itu tidak lain hanya dongeng-dongeng tentang Nabi yang didapat dari mulut ke mulut.
g)
Rasul tidak ada hak mengenai urusan perintah
agama. Olehnya dibawakan ayat QS Ali
Imran/3 : 128.
h)
Semua manusia telah tersesat sebelum mendapat
wahyu, termasuk Muhammad saw. Dalilnya QS. Al-Baqarah/2 : 198 ”Dan ingatlah
kepadanya seperti yang telah kami tunjukkan kepadamu dan sesungguhnya kamu
(Muhammad) sebelumnya benar-benar orang tersesat. (terjemahan M Ircham
Sutarto: 15 & 16).
i)
Di dalam agama, perbuatan lahiriah merupakan
pelengkap batiniah.
2. Abdurrahman
Diantara
ajarannya:
a)
Tidak ada adzan dan iqamat pada saat akan melaknasankan salat wajib.
b)
Seluruh salat masing-masing hanya dikerjakan dua rakaat.
c)
Puasa Ramadhan
hanya dilaksanakan bagi yang melihat bulan saja berdasarkan QS. Al-Baqarah/2 : 185:“ Karena itu barang siapa di antara kamu hadir ( di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. Mereka memahami ayat ini bahwa yang wajib
berpuasa adalah yang melihat bulan saja,
bagi yang tidak melihatnya tidak diwajibkan berpuasa, akhirnyua mereka
tidak ada yang berpuasa karena mereka tidak melihatnya.
3. Dalimi Lubis dan Nazwar
Syamsu
Dalimi Lubis salah seorang oknum karyawan
Kantor Departemen Agama Padang Panjang, lulusan IKIP Muhammadiyah Padang.
Menurut M Djamaluddin (tokoh pemberantasan Ingkar Sunah Indonesia) dialah pimpinan gerakan Ingkar Sunah Sumatra
Barat. Penyebaran paham Ingkar Sunah
dilakukan melalui tulisan-tulisannya baik dalam bentuk artikel maupun buku dan kaset rekaman ceramahnya yang
direproduksi oleh PT Ghalia Indonesia. Di antara tulisan artikel Dalimi Lubis
tentang penghujatan terhadap perawi Hadis Abu Hurairah dimuat di Suara Muhammadiyah No. 05/80/1995. Judul
buku-buku karyanya antara lain ; Alam Barzah dan Adapun Hukum dalam
Islam Hanya Al-Qur’an Saja.
4. As’ad bin Ali Baisa
Di antara
ajarannya ialah sebagai berikut :
a.
Shalat Jum’at harus dikerjakan 4 rakaat
b.
Bagi yang terpaksa berbuka pada bulan suci Ramadhan karena sakit atau
bepergian tidak perlu menggantinya. Sedangkan bagi wanita yang haid harus
melakukan shalat.
c.
Hadis Bukhari Muslim suatu Hadis yang bidayatul mujtahid (mujtahid
pemula). Isinya banyak yang bertentangan dengan Al-Qur’an
dan merekalah sebagai pemecah umat Islam.
d.
Orang yang habis mengambil air wudu jika terkencing dan buang angin tidak
perlu repot-repot mengulangi wudunya, bisa terus shalat saja.
e.
Mi’raj Nabi hanyalah dongeng dan khayalan saja.
3.
Tentang Sebab Pengingkaran Terhadap Sunnah Nabi saw
Melihat dari beberapa permasalahan di atas yang berhubungan dengan adanya
pengingkaran Sunnah dikalangan Umat Islam, dapatlah kiranya dilihat sebab
adanya pengingkaran tersebut, diantaranya.[25]
a)
Pemahaman
yang tidak terlalu mendalam tentang Hadits Nabi saw. Dan kedangkalan mereka
dalam memahami Islam, juga ajarannya secara keseluruhan, demikian menurut Imam as-Syafi'i.
b)
Kepemilikan
pengetahuan yang kurang tentang bahasa Arab, sejarah Islam, sejarah
periwayatan, pembinaan Hadits, metodologi penelitian Hadits, dan sebagainya.
c)
Keraguan
yang berhubungan dengan metodologi kodifikasi Hadits, seperti keraguan akan
adanya perawi yang melakukan kesalahan atau muncul dari kalangan mereka para
pemalsu dan pembohong.
d)
Keyakinan
dan kepercayaan mereka yang mendalam kepada Al-Qur'an
sebagai kitab yang memuat segala perkara.
e)
Keinginan
untuk memahami Islam secara langsung dari Al-Qur'an
berdasarkan kemampuan rasio semata dan merasa enggan melibatkan diri pada pengkajian
Hadits, metodologi penelitian hadits yang
memiliki karakteristik tersendiri. Sikap yang demikian ini, disebabkan oleh
keinginan untuk berfikir bebas tanpa terikat oleh norma-norma tertentu,
khususnya yang berkaiatan dengan Hadits Nabi saw.
f)
Adanya
statement Al-Qur'an yang menyatakan bahwa Al-Qur'an telah menjelaskan segala sesuatu yang
berkaitan dengan ajaran Islam (QS. Al-Nahl: 89), juga terdapatnya tenggang
waktu yang relatif lama antara masa kodifikasi hadits dengan masa hidupnya Nabi
saw (wafatnya beliau).
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Ingkar sunnah merupakan sebuah sikap penolakan terhadap sunnah Rasul,
baik sebagian maupun keseluruhan. Perkembangan ingkar sunnah terjadi pada dua masa
yaitu masa klasik dan modern. Menurut M. Mushthafa al-A’zhamiy, sejarah ingkar
sunnah klasik terjadi pada masa al-Syafi’i. Abad modern ingkar sunnah kembali
muncul di India dan Mesir. Menurut
Imam Syafi’i ada tiga kelompok ingkar sunnah, pertama, kelompok yang mengingkari sunnah secara keseluruhan. Kedua,
kelompok yang mengingkari sunnah yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an atau semakna dengan Al-Qur’an. Ketiga, kelompok yang hanya menerima hadits
mutawattir saja.
Penyebab
munculnya paham ingkar sunnah ada dua fakto. Faktor internal, munculnya ide pembaharuan oleh
Syekh Muhammad Abduh untuk anjuran ijtihad kembali pada ajaran agama dan
mencela taklid. Faktor eksternal adanya penelitian yang tidak objektif terhadap Islam dan dengan sengaja
menyisipkan ide-ide untuk merendahkan Islam, mencari-cari kekuranga Al-Qur’an
dan sunnah. Adapum alasan penolakan sunnah antara lain, agama bersifat konkrit
dan pasti, Al-Quran sudah lengkap, sunnah Bukan Al-Qur’an atau wahyu dan sunnah Bukan Hujjah dan Syariat.
Kelompok ingkar sunnah menggunakan dalil Al-Qur’an dalam menolak sunnah
seperti Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 89, surat al An’am ayat 38, surat
Al-Maidah ayat 3, surat Al-Fathir ayat 31 dan juga Yunus ayat 36. Walaupun
mereka menggunakan dalil tetapi juga memiliki kelemahan dalam beragumen
seperti pemahaman ayat an-Nahl ayat 89 tersebut
diselewengkan maksudnya sesuai dengan kepentingan mereka, surat Yunus ayat 36
yang dijadikan sebagai dalil mereka menolak hadits ahad sebagai hujjah dan
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan istilah zhanni adalah tentang keyakinan
yang menyekutukan Tuhan. Keyakinan yang dinyatakan sebagai zhanni pada ayat
tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dan tidak da kesamaannya dengan
tingkat kebenaran hasil penelitian kualitas hadits.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul
Majid Khon, Pemikiran Modern Dalam Sunnah, pendekatan Ilmu Hadits,
Jakarta : Kencana, 2011.
http://othoy09.Øblogspot.com/2012/02/inkar-as-sunnah.html
[10 April 2013]
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, Bogor: Pustaka Setia, 2009.
M. Azami, Menguji Keaslian Hadis Hadis Hukum.Jakarta :Pustaka
Firdaus, 2004.
Musahadi
Ham, Evolusi Konsep Sunnah, Semarang : Aneka Ilmu, 2000.
Mustafa Siba’I, Sunnah dan
Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, diterjemahkan oleh Nurcholis Majid,
Jakarta: Pustaka Pirdaus, 1993.
Rahman Fazlur, Wacana
Studi Hadis Kontemporer, Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2002.
Smeer,
Zeid B., Ulumul Hadits, Pengantar Studi Hadits Praktis, Malang : UIN
Malang Press, 2008.
Zeid B. Smeer, Ulumul Hadits, Malang: UIN-Malang Press, 2008.
[1]Abdul
Majid Khon, Pemikiran Modern Dalam Sunnah, Pendekatan Ilmu Hadits, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 54.
[6]
Perang antara Ali dan Mu’awiyah
[8]
Pengikut Ali yang setia sebelum mereka keluar dari barisan Ali
[9] M.Agus
Solahudin dan Agus Suyadi, hlm. 210.
[10] Ibid, hlm. 213.
[11] Ibid, hlm. 214.
[18]Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah..., Hadits, hlm. 116.
[23] Mustafa Siba’I, Sunnah dan
Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, diterjemahkan oleh Nurcholis Majid,
(Jakarta: Pustaka Pirdaus, 1993), hlm. 122-125.