Jumat, 17 April 2020


Tugas Final Fiqh muamalah tentang macam-macam akad yang digunakan pada saat bermuamalah.



Nama   : Muhammad Reza Palevy
Nim     : 29173489
Dosen  : Dr. Nevi Hasnita, M.Ag

Soal Midterm dan Final Fiqh Muamalah untuk Mahasiswa Ekonomi Syariah Pascasarjana UIN Ar-Raniry. Jawablah Soal Berikut dengan mencantumkan referensi yang anda Gunakan.
Soal :
1.       Dalam Fiqh muamalah terdapat berbagai macam akad yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan transaksi dan keinginan para pihak, buatlah klasifikasi akad yang anda ketahui dalam fiqh muamalah berdasarkan pada basis atau pola dasar akadnya.
Jawaban :
A.    Akad Tabarru’
Akad tabarru’ (gratuitious contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut non-for profit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil. Akad tabarru’ini memiliki prinsip sosial yaitu menolong sesama. Contoh akad-akad tabarru’ adalah qard, rahn, hiwalah, wakalah, kafalah, wadiah, hibah, waqf, shadaqah, dan hadiah.[1]
Pada dasarnya dalam akad tabarru’ ada dua hal yaitu memberikan sesuatu atau meminjamkan sesuatu baik objek pinjamannya berupa uang atau jasa.
1)      Dalam bentuk meminjamkan uang
Ada tiga jenis akad dalam bentuk meminjamkan uang yakni :
a)       Qard, merupakan pinjaman yang diberikan tanpa adanya syarat apapun dengan adanya batas jangka waktu untuk mengembalikan pinjaman uang tersebut.
b)      Rahn adalah menahan salah satu harta milik sipeminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.
c)       Hiwalah, merupakan bentuk pemberian pinjaman uang yang bertujuan mengambil alih piutang dari pihak lain.
2)      Dalam bentuk meminjamkan Jasa
Ada tiga jenis akad dalam meminjamkan jasa yakni :
a)       Wakalah, merupakan akad pemberian kuasa (muwakkil) kepada penerima kuasa (wakil) untuk melaksanakan suatu tugas (taukil) atas nama pemberi kuasa.
b)      Wadi’ah, dapat dilakukan dengan cara kita memberikan sebuah jasa untuk sebuah penitipan atau pemeliharaan yang kita lakukan sebagai ganti orang lain yang mempunyai tanggungan. Pembagian wadi’ah sebagai berikut :
·         Wadi’ah Yad Al-Amanah
Akad Wadiah dimana barang yang dititipkan tidak dapat dimanfaatkan oleh penerima titipan dan penerima titipan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan selama si penerima titipan tidak lalai.
·         Wadi’ah Yad Ad-Dhamanah
Akad Wadiah dimana barang atau uang yang dititipkan dapat dipergunakan oleh penerima titipan dengan atau tanpa ijin pemilik barang. dari hasil penggunaan barang atau uang ini si pemilik dapat diberikan kelebihan keuntungan dalam bentuk bonus dimana pemberiannya tidak mengikat dan tidak diperjanjikan.
c)       Kafalah, merupakan akad pemberian jaminan yang diberikan satu pihak kepada pihak lain dimana pemberi jaminan bertanggung jawab atas pembayaran kembali suatu hutang yang menjadi hak penerima jaminan.
3)      Memberikan Sesuatu
Bentuk akad memberikan sesuatu adalah akad-akad : hibah, wakaf, shadaqah, hadiah, dll. Dalam semua akad-akad tersebut, si pelaku memberikan sesuatu kepada orang lain. Bila penggunaannya untuk kepentingan umum dan agama, maka akadnya  dinamakan wakaf. Objek wakaf ini tidak boleh diperjual belikan begitu sebagai aset wakaf. Sedangkan hibah dan hadiah adalah pemberian sesuatu secara sukarela kepada orang lain.
B. Pengertian Akad Tijarah
Tijarah adalah akad perdagangan yaitu mempertukarkan harta dengan harta menurut cara yang telah ditentukan dan bermanfaat serta dibolehkan oleh syariah. Semua bentuk akad yang ditujukan untuk tujuan komersial, yaitu akad yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan. Berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang diperolehnya, akad tijarah dibagi menjadi dua kelompok besar, yakni :
1)      Natural Certainty Contracts (NCC)
Dalam NCC, kedua belah pihak saling mempertukarkan aset yang dimilikinya, karena itu objek pertukarannya (baik barang maupun jasa) harus ditetapkan di awal akad dengan pasti, baik jumlahnya (quantity), mutunya (quality), harganya (price) dan waktu penyerahannya (time of delivery). Jadi, kontrak-kontrak ini secara sunnatullah (by their nature) menawarkan return yang tetap dan pasti. Yang termasuk kedalam kategori ini adalah kontrak-kontrak yang berbasis jual beli, upah-mengupah, dan sewa-menyewa, yaitu :
a.       Akad jual beli (al-Ba’i, Salam, dan istishna’)
b.      Akad sewa-menyewa (ijarah dan IMBT)

1)      Natural Uncertainty Contract (NUC)
Dalam NUC, pihak-pihak yang bertransaksi saling mencampurkan asetnya (baik real assets maupun financial assets) menjadi satu kesatuan, dan kemudian menanggung risiko bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan. Percampuran yang dimaksud dalam teori ini adalah mencampurkan atau menggabungkan aset menjadi satu kesatuan, selanjutnya kedua belah pihak terkait akan menanggung resiko dari kegiatan usaha yang dilakukan bersama tersebut dan membagi keuntungan atau laba sesuai kesepakatan bersama. Berdasarkan teori percampuran ini, akad atau perjanjian yang biasa digunakan bertujuan untuk investasi sehingga dalam hal ini tidak memberikan kepastian imbalan (return) di awal. Konsep dalam berinvestasi yaitu bahwa tingkat return yang diperoleh dapat bersifat positif (untung), negatif (rugi), atau nol (balik modal).[2]
Contoh-contoh NUC adalah sebagai-berikut :
a)       Mudharabah (Mutlaqah dan Muqayyadah)
b)      Musyarakah ( wujuh, ‘inan, abdan, muwafadhah, mudharabah).
c)       Muzara’ah
d)      Musaqah
e)       Mukhabarah
Pembagian Akad
Tabarru’
Tijarah
1)      Bentuk Pinjaman (Qard, Rahn, Hiwalah)
2)      Bentuk Jasa (Wakalah, Wadhi’ah, Kafalah)
3)      Memberikan Sesuatu (hibah, wakaf, shadaqah, hadiah)
2)      Natural Certainty Contract (al-Ba’i, Salam, Istishna’, Ijarah dan IMBT)
3)      Natural Uncertainty Contract (Mudharabah, Musyarakah, Muzara’ah, Musaqah, dan Mukhabarah)

Soal:
2.      Harta dalam Islam dibedakan menjadi beberapa kategori, jelaskan pembedaan jenis-jenis harta dalam fiqh muamalah dan konsekuensi hukum dari pembedaan tersebut.

Jawaban:
Harta terdiri dari beberapa bagian dan tiap-tiap bagian memiliki ciri khusus dan hukumnya tersendiri. Pembagian jenis harta ini sebagai berikut:
1)      Harta Mutaqawwin dan Ghair Mutaqawwin
a)      Harta mutaqawwin ialah sesuatu yang boleh diambil manfaatnya menurut syara’ yaitu semua harta yang baik jenisnya maupun cara memperoleh dan penggunaanya. Sebagai contoh: kerbau halal dimakan oleh umat muslim, tetapi kerbau tersebut disembelihnya tidak sah menurut syara’, misalnya dipukul, ditembak, dll.
b)      Harta ghair mutaqawwin ialah sesuatu yang tidak boleh diambil menurut syara’ yaitu kebalikan dari harta mutaqawwin, yakni yang tidak boleh diambil manfaatnya, baik jenisnya, cara memperolehnya, maupun cara penggunaannya. Contohnya: sepatu yang diperoleh dengan cara mencuri termasuk ghair mutaqawwin karena memperolehya dengan cara yang haram.
Konsekuensi hukumnya :
a)      Sah dan Tidaknya Akad
Harta mutaqawwim sah dijadikan akad dalam berbagai aktivitas muamalah, seperti hibbah, pinjam meminjam, dll. Sedangkan harta ghair mutaqawwim tidak sah dijadikan akad dalam bermuamalah. Pendapat ini disampaikan oleh ulama Hanafiyah.
b)      Tanggungjawab Ketika Rusak
Jika seseorang merusak harta mutaqawwim, maka ia bertanggungjawab untuk menggantinya. Akan tetapi, jika merusak harta ghair mutaqawwim, ia tidak bertanggungjawab untuk menggantinya.
2)      Harta Mitsli dan Harta Qimi
a)      Harta mitsli ialah benda-benda yang ada persamaan dalam kesatuan-kesatuannya, dalam arti dapat berdiri sebagiannya di tempat yang lain, tanpa ada perbedaan yang perlu dinilai. Jadi, harta mitsli adalah harta yang ada imbangannya (persamaan). Seperti harta yang jenisnya diperoleh di pasar (secara persis).
b)      Harta qimi ialah benda-benda yang kurang dalam kesatuan-kesatuannya, karena tidak dapat berdiri sebagian di tempat sebagian yang lainnya tanpa ada perbedaan. Jadi, harta qimi adalah harta yang tidak ada imbangannya secara tepat. Seperti harta yang jenisnya sulit di dapatkan di pasar, bisa di peroleh tetapi jenisnya berbeda, kecuali dalam nilai harganya.
3)      Harta Istihlak dan Harta Isti’mal
a)      Harta istihlak ialah sesuatu yang tidak dapat diambil kegunaan dan manfaatnya secara biasa, kecuali dengan menghabiskannya. Harta istihlak dibagi menjadi dua, ada yang istihlak haqiqi dan istihlak huquqi.
·         Harta istihlak haqiqi ialah suatu benda yang menjadi harta yang secara jelas (nyata) zatnya habis sekali digunakan. Misalnya, korek api bila dibakar, maka habislah harta yang berupa kayu itu.
·         Harta huquqi ialah harta yang sudah habis nilainya bila telah digunakan, tetapi zatnya masih tetap ada. Misanya uang yang digunakan untuk membayar hutang, dipandang habis menurut hukum walaupun uang tersebut masih utuh, tetapi hanya pindah kepemiliknya.
b)      Harta isti’mal ialah sesuatu yang dapat digunakan berulang kali dan materinya tetap terpelihara. Harta isti’mal tidaklah habis sekali digunakan, tetapi dapat digunakan lama menurut apa adanya. Seperti kebun, tempat tidur, pakaian, sepatu, dll.
4)      Harta Manqul dan Harta Ghair Manqul
a)      Harta manqul ialah segala harta yang dapat dipindahkan (bergerak) dari satu tempat ke tempat lain. Seperti emas, perak, perunggu, pakaian, kendaraan, dll.
b)      Harta ghair manqul ialah sesuatu yang tidak bisa dipindahkan dan dibawa dari satu tempat ke tempat yang lain. Seperti kebun, rumah, pabrik, sawah, dll. Istilahnya benda bergerak dan benda tetap.
5)      Harta Mamluk, Mubah, dan Mahjur
a)      Harta mamluk ialah sesuatu yang masuk ke bawah milik, milik perorangan maupun milik badan hukum, seperti pemerintah dan yayasan. Harta mamluk(yang dimiliki) terbagi manjadi dua macam yaitu:
·         Harta perorangan (mustaqil) yang berpautan dengan hak bukan pemilik, misalnya rumah yang di kontrakkan. Harta perorangan yang tidak berpautan dengan hak bukan pemilik, misalnya seseorang yang mempunyai sepasang sepatu dapat digunakan kapan saja.
·         Harta perkongsian (masyarakat) antara dua pemilik yang berkaitan dengan hak yang bukan pemiliknya, seperti dua orang yang berkongsi memiliki sebuah pabrik dan lima buah mobil, salah satu mobilnya disewakan selama satu bulan kepada orang lain. Harta yang dimiliki oleh dua orang yang tidak berkaitan dengan hak bukan pemiliknya, seperti dua orang yang berkongsi memiliki sebuah pabrik dan pabrik tersebut diurus bersama.
b)      Harta mubah ialah sesuatu yang pada asalnya bukan milik seseorang, seperti air pada mata air, binatang buruan darat, laut, pohon-pohon di hutan dan buah-buahannya.
c)      Harta mahjur ialah sesuatu yang tidak dibolehkan dimiliki sendiri dan memberikan kepada orang lain menurut syari’at, adakalanya benda itu benda wakaf ataupun benda yang dikhususkan untuk masyarakat umum,seperti jalan raya, masjid-masjid, kuburan, dll.
6)      Harta yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
a)      Harta yang dapat dibagi (mal qabil li al-qismah) ialah harta yang tidak menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta itu dibagi-bagi, misalnya beras, tepung, dll.
b)      Harta yang tidak dapat dibagi (mal ghair qabil li al-qismah) ialah harta yang menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta tersebut dibagi-bagi, misalnya gelas, kursi, meja, dll.[3]
Soal :
3.      Dalam akad murabahah pesanan atau akad Ijarah Muntahiyya bittamlik, terdapat wa’ad (janji), jelaskan perbedaan antara janji dan akad serta konsekuensi hukum dari keduanya.
Jawaban:
Wa’ad adalah janji antara satu pihak kepada pihak lainnya, pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam Wa’ad bentuk dan kondisinya belum ditetapkan secara rinci dan spesifik. Bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka sanksi yang diterimanya lebih merupakan sanksi moral.Hal ini berbeda dengan akad yang mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat yaitu pihak-pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu.Dalam akad, bentuk dan kondisinya sudah ditetapkan secara rinci dan spesifik.Bila salah satu atau kedua pihak yang terikat dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia/mereka menerima sanksi seperti yang sudah disepakati dalam akad.[4]
Akad, sebagai sebab timbulnya iltizam. akad secara syar’i yaitu: “Hubungan antaraijab dan qabul dengan cara yang dibolehkan oleh syariat yang mempunyai pengaruh secara langsung. “Ini artinya bahwa akad termasuk dalam kategori hubungan yang mempunyai nilai menurut pandangan syara’ antara dua orang sebagai hasil dari kesepakatan antara keduanya yang kemudian dua keinginan itu dinamakan ijab dan qobul.[5]
Akad Ijarah Muntahiyah bi al-Tamlik (IMBT) dapat dilihat dalam fatwa DSN-MUI No: 27/DSN-MUI/III/2002. Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan IMBT adalah perjanjian sewa-menyewa yang disertai dengan opsi pemindahan hak milik atas benda yang disewa, kepada penyewa, setelah masa sewa. Hubungan antara wa’d dengan akad IMBT terlihat pada ketentuan kedua, yaitu: (1) pihak yang melakukan akad IMBT harus melaksanakan akad Ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilkan, baik dengan jual beli atau pemberian (hibah), hanya dapat dilakukan setelah masa ijarah selesai; (2) janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad ijarah adalah wa’d yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah selesai.
Berkaitan dengan fatwa DSN-MUI tentang janji (wa’ad), dapat dikontruksikan dalam akad IMBT hukumnya dapat mengikat dan dapat pula tidak mengikat. Kontruksi janji (wa’d) dalam akad IMBT hukumnya akan mengikat jika janji (wa’d) memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana yang disebutkan pada fatwa DSN-MUI tentang Janji (wa’d), dimana janji (wa’d) akan mengikat jika dikaitkan dengan sesuatu (syarat) yang harus dipenuhi atau dilaksanakan mau’ud (penerima janji). Syarat yang harus dipenuhi penerima janji adalah menyelesaikan kewajiban membayar sewa (ijarah) hingga masa sewa (ijarah) selesai, karena akad pemindahan kepemilikan dalam akad, baik dengan jual beli atau pemberian (hibah) hanya dapat setelah masa ijarah selesai, sebagaimana yang telah ditentukan dalam fatwa DSN-MUI No: 27/DSN-MUI/III/2002. Namun, tentunya tidak hanya ketentuan dalam hal ini saja, kelima ketentuan yang disebut di dalam fatwa DS-MUI tentang janji (wa’d) tersebut juga harus ikut terpenuhi.
Sebaliknya, janji (wa’d) dalam akad IMBT hukumnya akan tidak mengikat jika dalam konstruksinya janji (wa’d) dalam akad IMBT tidak dikaitkan dengan sesuatu (syarat) yang harus dipenuhi oleh si penerima janji. Janji (wa’d) akan tidak mengikat jika penerima janji tidak menyelesaikan kewajiban membayar sewa hingga akhir masa sewa, dengan demikian akad pemindahan kepemilikan objek sewa tidak dapat dilakukan oleh pemberi janji, karena tidak memenuhi ketentuan tentang akad IMBT dalam Fatwa DSN-MUI Nomor: 27/DSN-MUI/III/2002. Jika salah salah satu dari lima ketentuan khusus pelaksanaan wa’d yang disebut dalam Fatwa DSN-MUI No: 85/DSN-MUI/XII/2012 tidak terpenuhi, maka janji (wa’d) dalam akad IMBT hukumnya ialah tidak mengikat. Hal ini sesuai dengan ketentuan fatwa tersebut bahwa janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad ijarah adalah wa’d yang hukumnya tidak mengikat.
Soal :
4.      Salah satu contoh perkembangan akad adalah konsep akad yang dulunya merupakan akad tunggal berubah menjadi akad ganda (Multi akad), jelaskan ketentuan hukum Multi akad dalam fiqh muamalah, bagaimana kriteria Multi akad yang dibolehkan serta contoh aplikasi Multi akad dalam fatwa DSN-MUI dan transaksi keuangan Syariah.
Jawaban :
Transaksi Multi Akad adalah transaksi yang di dalamnya terdapat lebih dari satu jenis akad, baik secara timbal balik (mutaqabil) atau hanya sekedar pengabungan beberapa akad dalam satu transaksi (mujtami’). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata multi berarti banyak, lebih dari satu, lebih dari dua, dan juga berlipat ganda. Sedangkan kata akad memiliki arti janji, perjanjian dan kontrak. Transaksi jenis ini biasa juga dikenal dengan istilah hybrid contract.[6]
Dari definisi di atas dapat diambil beberapa kesimpulan tentang batasan mengenai transaksi multi akad ini, yaitu bahwa:
1)      transaksi multi akad terjadi antara dua pihak atau lebih,
2)      Dalam transaksi ini terjadi dua jenis akad yang beragam atau lebih,
3)      Beragam akad yang berbeda ini saling terikat menjadi satu kesatuan akad, hingga seluruh akibat dari berbagai akad tersebut seolah menjadi akibat dari akad yang satu,
4)      jenis transaksi multi akad dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu akad yang mensyaratkan terjadinya adanya akad lain (mutaqabalah) dan berkumpulnya sejumlah akad sekaligus dalam satu transaksi (mujtama’ah).
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa terdapat dua jenis transaksi multi akad yang biasa digunakan, yaitu transaksi multi akad bergantung/bersyarat (al-‘uqud al-mutaqabilah) dan multi akad tergabung (al-‘uqud al-mujtami’ah). Maka pembahasan dalam bagian ini akan dibagi menjadi dua pembahasan, yaitu hukum transaksi bersyarat akad dan hukum multi akad dalam satu transaksi.
·         Hukum Transaksi Dengan Syarat Akad di Dalamnya (syarth ‘aqd fi ‘aqd)
Pembahasan mengenai hukum akad bersyarat di dalam transaksi akan berkisar pada beberapa hadis yang saling bertentangan mengenai syarat. Beberapa hadis tersebut adalah:
1-      Hadis dari Jabir bin ‘Abdillah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah membeli unta darinya dengan syarat ditunggangi oleh Jabir sampai Madinah. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan al-Nasa’i.
2-      Hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ahmad, dan Abu Dawud bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:Janji perdamaian itu diperbolehkan di antara sesama muslim, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, sesama muslim itu konsisten dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.
3-      Hadis yang dikenal dengan istilah hadis Barirah, diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:Kenapa manusia membuat syarat-syarat yang tak ada di dalam Kitabullah, siapa yang membuat syarat-syarat yang tak ada di dalam Kitabullah maka syarat itu tidak berlaku baginya, meski ia menegaskannya seratus kali. Syaratnya Allah itu lebih berhak dan lebih kuat”.
4-      Hadis dari Abdullah bin Amru bin al-‘Ash yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad, Tirmidzi dan Nasa’I bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: “Tidak halal akad salaf (qardh) bersama akad bai’, dan juga dua syarat dalam satu akad bai’, dan keuntungan yang tidak kamu jamin, dan menjual apa yang tidak kamu miliki”.
Dalam hadis-hadis di atas, kita dapat mengetahui bahwa hadis pertama dan kedua adalah hadis yang menunjukkan kebolehan syarat, dan hadis ketiga dan keempat adalah hadis yang melarang adanya syarat. Dan baik dari hadis yang membolehkan ataupun yang melarang terdapat hadis yang bersifat umum dan bersifat khusus. Hadis pertama bersifat khusus, secara jelas menyatakan terjadinya syarat di dalam akad bai’ di masa Rasulullah. Hadis kedua bersifat umum, mencakup berbagai syarat yang bisa dilakukan, dengan syarat tidak mengganggu gugat konsep halal dan haram. Perpaduan antara dua hadis umum dan khusus ini dapat menjadi landasan adanya syarat di dalam akad, tak hanya terbatas pada akad bai’ saja namun juga berbagai akad lain selama sesuai dengan petunjuk keumuman hadis yang kedua.
Soal :
5.      Perkembangan teknologi juga mendorong munculnya berbagai model transaksi baru yang menggunakan aplikasi tertentu, seperti ojek Online, pesanan makanan melalui ojek Online, Online Shop baik dengan sistem dropsihipping, reseller atau marketplace, jelaskan hukum transaksi tersebut dan akad-akad apasaja yang terdapat dalam transaksi di atas.

Jawaban:
Dropshipping adalah suatu usaha penjualan produk tanpa harus memiliki produk apa pun. Dropshipping dapat diartikan juga suatu sistem transaksi jual beli dimana pihak dropshipper menentukan harga barang sendiri, namun setelah mendapat pesanan barang, dropshipper langsung membeli barang dari supplier.[7]
Secara umum, model kerjasama antara dropshipper dengan supplier ada 2 macam, yaitu:
1)      Supplier memberikan harga ke dropshipper, kemudian dropshipper dapat menjual barang kepada konsumen dengan harga yang ditetapkannya sendiri dengan memasukkan keuntungan dropshipper.
2)      Harga sejak awal sudah ditetapkan oleh supplier, termasuk besaran fee untuk dropshipper bagi setiap barang yang terjual. Pada jenis pertama, suplier memberikan kebebasan kepada dropshipper untuk memasarkan suatu produk dengan penetapan harga sesuai keinginan dropshipper, biasanya tidak ada biaya pendaftaran serta tidak ada batas minimal pembelian. Jenis inilah yang paling mudah serta banyak digemari oleh pelaku bisnis dropshipping. Sedangkan pada jenis kedua, umumnya ada biaya pendaftaran anggota dan terdapat batas minimal penjualan.
Keuntungan penjual sebagai dropshipper diperoleh dari selisih harga dari supplier kepada dropshipper dengan harga dropshipper kepada pembeli. Dalam sistem ini, konsumen terlebih dahulu membayar secara tunai atau transfer ke rekening dropshipper. Selanjutnya dropshipper membayar ke supplier sesuai harga beli dropshipper disertai ongkos kirim barang ke alamat konsumen.
Bahwa khazanah fiqh Islam sangat kaya akan akad-akad yang sesuai dengan aktivitas dropshipping. Ada  bebrapa alternatif akad yang bisa digunakan untuk dropshipper yakni bisa menggunakan akad salam, wakalah ataupun samsarah.
Akad salam dipilih sebagai alternatif dan solusi dalam menjalankan bisnis dropshipping, maka dropshipper berkewajiban menyertakan berbagai kriteria dan spesifikasi yang terdapat pada gambar barang yang ditawarkan kepada calon konsumen. Setalah adanya kesepakatan kedua belah pihak, maka konsumen mengirimkan uang tunai kepada dropshipper seharga barang yang hendak dibeli ditambah ongkos kirim, kemudian dropshipper mencarikan barang pesanan pembeli kepada pihak suplier yang sebelumnya dropshipper telah menjalin kerjasama dan meminta izin kepada suplier untuk menjadi mitra  sebagai dropshipper, sehingga setelah dropshipper membeli barang sesuai pesanan,  selanjutnya barang pesanan akan dikirim oleh supplier langsung kepada konsumen atas nama dropshipper. Sistem semacam ini disebut akad salam atau jual beli sistem pesanan. Pengunaan akad salam diperbolehkan dalam sistem transaksi bisnis dropshipping selama memenuhi syarat akad salam sebagaimana yang telah penulis uraikan pada bagian sebelumnya seperti persyaratan kewajiban dropshipper untuk menjelaskan spesifikasi barang yang ditawarkan secara jujur baik dari segi kualitas dan kuantitas serta kewajiban pihak konsumen untuk membayar tunai atau lunas pada awal akad.
Apabila akad wakalah yang digunakan sebagai solusi dalam transkasi dropshipping, maka menurut penulis sebenarnya akad wakalah adalah akad yang paling sederhana dan paling mudah, karena posisi dropshipper hanya sebagai wakil dari suplier selaku muwakkil sekaligus pemilik barang untuk turut serta menjualkan barang milik suplier. Hal demikian posisi dropshipper lazimnya sebagai seorang pramuniaga yang sedang bekerja untuk menjualkan komoditas yang dimiliki oleh suplier, hanya saja sistem penjualannya tidak di toko offline, namun dalam bentuk lapak online dengan sistem dropshipping. Atas konsekuensi penggunaan akad wakalah ini pihak dropshipper tidak diperkenankan mengambil keuntungan dari hasil penjualan melebihi ketentuan yang sudah diamanatkan oleh suplier. Karena sejatinya pihak dropshipper adalah wakil yang harus menjalankan semua yang telah ditentukan oleh muwakkil/suplier. Dropshipper akan menerima keuntungan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak ketika di awal perjanjian saat dropshipper menawarkan diri sebagai wakil sekaligus meminta izin akan bertindak sebagai dropshipper. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan jika dropshipper mendapat keuntungan lebih dari hasil penjualan jika memang muwakkil/suplier menyatakan dengan akad wakalah muthlaqoh[8] sehingga dropshipper tidak terikat ketentuan harga tertentu dari suplier.
Akad samsarah adalah penengah antara penjual dan pembeli atau pemilik barang dengan pembeli untuk melancarkan sebuah transaksi dengan kompensasi baik berupa imbalan upah (ujroh), bonus atau komisi (ji’alah). Pekerjaan samsarah dalam fiqih Islam termasuk akad ijarah, yaitu suatu transaksi memanfaatkan jasa orang lain dengan imbalan.
Apabila akad yang dipakai dalam menjalankan sistem dropshipping adalah akad samsarah, maka sebelum menjalankan sistem dropshipping, terlebih dahulu seseorang menjalin kesepakatan kerjasama dengan supplier harga barang tidak ditetapkan sendiri, tetapi ditetapkan oleh supplier. Atas kerjasama ini  seseorang mendapatkan wewenang untuk turut memasarkan barang dagangannya. Dropshipper di sini bertindak sebagai makelar dan hanya menjalankan marketing dan berhak mendapat fee (upah) dari setiap barang yang terjual. Penentuan fee bisa saja dihitung baik berdasarkan waktu kerjasama atau berdasarkan jumlah barang yang telah dijual. Transaksi semacam ini dalam fikih muamalah disebut dengan transaksi ju’alah yang artinya suatu janji upah apabila dia mampu menyelesaikan pekerjaannya.[9]

Soal :
6.      Bagaimanakah penggunaan e-money atau aplikasi pembayaran/pembelian seperti pay-tren milik Yusuf Mansur, T-cash (telkomsel) atau Go-pay (gojek) dalam perspekstif fiqh muamalah

Jawaban :
Saat ini beberapa Bank Syariah juga telah mengeluarkan produk yang terkait dengan uang elektronik. Mereka tidak akan berani meluncurkan produk itu kecuali setelah mendapat dukungan dari otoritas jasa keuangan dan MUI dalam hal ini melalui fatwa Dewan Syariah Nasional, artinya uang elektronik sudah sah digunakan baik menurut agama maupun Negara. Selanjutnya yang dibutuhkan adalah kebijakan dan penghematan dalam menggunakannya, agar tidak boros & menyebabkan kerugian di lain hari.
·         Prinsip-prinsip Syariah dalam Transaksi Uang Elektronik
1)      Tidak Mengandung Maysir (unsur perjudian, untung-untungan atau spekulatif yang tinggi).
2)      Tidak Menimbulkan Riba yang berbentuk pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam dan pengalihan harta secara batil.
3)      Pertukaran antara nilai uang tunai dengan nilai uang elektronik harus sama jumlahnya (tamatsul) baik kualitas maupun kuantitasnya, jika tidak, maka tergolong ke dalam bentuk riba al-fadl
4)      Pertukaran antara nilai uang tunai dengan nilai uang elektronik harus dilakukan secara tunai (taqabudh), jika tidak, maka tergolong ke dalam bentuk riba al-nasiah (penundaan penyerahan salah satu dua barang yang dipertukarkan dalam jual-beli barang ribawi yang sejenis).
5)      Tidak Mendorong Israf  (Pengeluaran yang Berlebihan) uang elektronik pada dasarnya digunakan sebagai alat pembayaran ritail/mikro, agar terhindar dari Israf(pengeluaran yang berlebihan) dalam konsumsi dilakukan pembatasan jumlah nilai uang elektronik serta batas paling banyak total nilai transaksi uang elektronik dalam periode tertentu.
6)      Tidak Digunakan untuk Transaksi objek Haram dan Maksiat Uang elektronik.
Dengan dipersamakannya uang elektronik dengan uang, maka pertukaran antara nilai uang tunai (cash) dengan nilai uang elektronik merupakan pertukaran atau jual beli mata uang sejenis yang dalam literatur Fikih Muamalat dikenal dengan al-Sharf. Disamping al-shorf terdapat akad-akad lain yang terkait dengan transaksi uang elektronik, diantaranya adalah : al-ijarah, dan wakalah.
Relevansi akad Sharf dalam implementasi uang elektronik dapat dilihat pada syarat-syarat akad berikut ini :
·         syarat akad tunai (al-Taqabudh), nilai uang elektronik yang berada di tangan pemegang sepenuhnya berada dalam kekuasaan pemegang dan dana float yang terkumpul di penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang tentang Perbankan dan sepenuhnya berada dalam penguasaan.
·         syarat al-tamatsul (jumlahnya sama), nilai satu Rupiah pada nilai uang elektronik harus sama dengan satu Rupiah pada uang tunai (cash).
·         syarat tidak boleh ada Khiyar Syarat, dalam transaksi uang elektronik tidak terdapat Khiyar Syarat, pada saat transaksi dilakukan, ketika masing-masing pihak telah menunaikan kewajiban dan mendapatkan haknya, maka transaksi telah selesai.
·         syarat tidak boleh ditangguhkan, Pada saat proses penerbitan, ketika pihak pemegang menyetorkan uang, maka penerbit saat itu juga menyerahkan nilai uang elektronik kepada pemegang dan pada saat terjadi redeem baik oleh pemegang atau oleh pedagang, penerbit harus dapat menunaikannya secara tepat waktu.
Akad-akad Lain yang Terkait dengan uang elektronik.
            Melihat dari relevansi tersebut di atas, maka jelaslah bahwa akad utama yang digunakan dalam penyelenggaraan uang elektronik adalah akad Sharf, yaitu tukar-menukar atau jual beli uang. Namun dalam implementasinya, penyelenggaraan uang elektronik dapat dilengkapi oleh akad-akad lain, yaitu :
a)       Akad Ijarah
Ijarah adalah transaksi sewa menyewa atas suatu barang dan atau upah mengupah atas suatu jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa. Akad ijarah digunakan dalam hal terdapat transaksi sewa menyewa atas perlengkapan/peralatan dan atau terdapat pelayanan jasa dalam penyelenggaraan uang elektronik.
b)      Akad Wakalah
Wakalah adalah pemberian kuasa kepada orang lain untuk bertindak sebagai pemberi kuasa dalam transaksi yang diperbolehkan dan diketahui. Akad Wakalah digunakan dalam hal penerbit bekerjasama dengan pihak lain sebagai agen penerbit dan/atau terdapat bentuk perwakilan lain dalam transaksi uang elektronik

Soal :
7.      Bentuk syirkah mengalami perkembangan yang cukup signifikan, selain bentuk syirkah Inan, Syirkah wujuh, syirkah mufawadhah, serta syirkah Abdan yang sudah dikenal dalam fiqh muamalah, juga terdapat berbagai bentuk syirkah kontemporer lainnya, seperti syirkah tadhamun, syirkah taushiyah basithah, syirkah muhashah, syirkah mutanaqihsah, dan syirkah mas’uliyah. Jelaskan bentuk bentuk syirkah modern di atas beserta contoh aplikasinya.
Jawaban :
1)      Syirkah Tadhamun
Yaitu perkongsian antara dua pihak atau lebih denagn maksud melakukan kegiatan bisnis guna memperoleh keuntungan yang mana para syarik bertanggung jawab dan saling menjamin (tadhamun) terhadap semua kewajiban badan usaha yang tidak hanya terbatas pada jumlah modal yang disertakannya, tetapi bertanggung jawab terhadap keseluruhan harta badan usaha yang didasarkan pada akad syirkah.[10] persekutuan firma adalah persekutuan kerja yang berarti lebih tepat dikelompokkan sebagai syirkah abdan. Dari segi perkembangan akad syirkah yang tergolong baru, firma dapat dinyatakan sebagai syirkah tadhamun, karena unsur utama dalam syirkah tadhamun adalah tanggung jawab (dhmanah).[11]
2)      Syirkah Taushiyah Basithah
Syirkah ini didefinisikan sebagai akad syirkah antara mutadhamin dan Mushi. Mutadhamin adalah pihal yang menyertakan modal usaha serta bertanggung jawab atas pengolahan badan usaha (pihak manajemen). Pihak mutadhamin lah yang merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan dan mengontrol badan usaha serta bertanggung jawab untuk menunaikan kewajiban-kewajiban badan usaha. Sedangkan mushi adalah pihak yang menyertakan harta untuk dijadikan modal badan usaha yang tidak bertanggung jawab atas manajemen badan usaha dan juga tidak dibebani kewajiban-kewajiban badan usaha.[12]
Persekutuan Komanditer dilihat dari segi konsep syirkah mengandung dua unsur yang disertakan ke dalam perusahaan. Sejumlaha sekutu atau syarik menyertakan modal dan keahlian atau keterampilan ke dalam perusahaan, maka termasuk syirkah amwal dan syirkah abdan. Dilihat dari segi konsep syirkah kontemporer, identik dengan syirkah taushiyah basithah, yaitu akad syirkah mutadhamin (pihak yang menyertakan modal usaha serta bertanggung jawab atas penngelolaan badan usaha) dan mushi (pihak yang menyertakan harta untuk dijadikan modal badan usaha yang tidakk bertanggung jawab atas manajemen badan usaha dan juga tidak dibebani kewajiban-kewahiban badan usaha.[13]
3)      Syirkah Muhashah
Tidak seperti akad syirkah lainnya yang menuntut dua pihak atau lebih untuk menyerakan modal yang berupa harta atau keterampilan untuk mendapatkan profit. Dalam syirkah muhashah tidka terdapat penyertaan harta untuk dijadkan modal bersama juga tidak terdapat nomenlaktur (judul kontrak) syirkah, oleh karena itu syirkah muhashah luput dari perhatian jumhur ulama, tidak dikenal oleh masyarakat, tidak wujud secara fisik, dan juga tidak ada badan usaha (badan hukum) sebagai subjek hukum seperti syirkah pada umumnya. Syirkah muhashah disebut dengan syirkah temporal (syirkah waqtiyyah) seperti lelang atau jaul-beli yang menggunakan jasa pihak ketiga (Samsarah) guna memperoleh laba bersih secara cepat dan seketika setelah penjualan atau lelang berlangsung. Hal yang konkret bahwa salah satu syarik mewakili syarik lainnya (bertindak hukum atas nama syarik lainnya), pada saat itulah syirkah berlangsung dan tidak ada badan usaha syirkah.[14] Sindikat Ialah suatu kerja sama antara beberapa pihak untuk melaksanakan proyek khusus yang didasarkan pada suatu perjanjain. Perjanjian sindikat menetapkan tentang keanggotaan sindikat dan cara-caramendapatkan laba atas menanggung kerugian, disesuaikan denagn jumlah dana yang mereka sertakan. Secara konseptual, sindikat mirip dengan syirkah muhashah.[15]
4)      Syirkah Mutanaqishah
Terdapat sejumlah istilah yang berbeda yang diperkenanlkan oleh para ulama. Pertama, syirkah mutanaqishah adalah kerja sama antara para syarik (dalam hal ini bank dengan nasabah) guna membeli suatu barang, kemudian barang tersebut dijadikan modal usaha oleh nasabah untuk mendapatkan keuntungan yang akan dibagi bersama diantara bank dan nasabah disertai dengan pembelian barang modal milik bank yang dilakukan secara berangsur sehingga kepemilikan bank terhadap barang modal semakin lama semakin berkurang. Demikian akad ini dinamai dengan syarakah mutanaqishah karena memperhatikan kepemilikan bank dalam syirkah, yakni penyusutan barang modal syirkah yang dimiliki oleh bank karena dibeli oleh nasabah secara berngsur. Mutanaqishah dalam hal ini berarti penyusustan modal milik bank karena dibayar (dibeli) oleh nasabah dengan cara diangsur. Dari gambaran tersebut, apabila dilihat dari segi nasabah jumlah barang modal yanga dimiliki oleh nasabah semakin lama semakin bertambah karena membeli barang modal milik bank secara berangsurm oleh karena itu syirkah ini dari segi nasabah bukan musyarakah mutanaqishah tapi musyarakah ziyadag (zada atau ziyadah berarti bertambah). Kedua, nama lain dari  bit tamlik. Secara bahasa syirkah mutanaqishah adalah al-musyarakah-al-muntahiyyah bit tamlik adalah kerja sama antara sejumlah syarik (nasabah dengan bank) dengan menyertakan harta untuk dijadikan modal usaha, dan modal usaha syirkah tersebut kenudian dibeli oleh nasabah secara berangsur sampai waktu yang dijanjikan, kepemilikan modal bank habis (karena dibeli dengan cara angsuran), seluruh modal usaha syirkah menjadi milik nasabah, dan pada saat itulah syirkah berakhir. Demikian syirkah ini dinamakan syirkah mutanaqishah adalah al-musyarakah-al-muntahiyyah bit tamlik karena memperhatikan status kepemilikan modal usaha bersama pada waktu yang dsepakati, yaitu menjadi milik syarik (nasabah) secara penuh. Ketiga, nama lainnya adalah musyarakah muqayyadah (kerja sama terikat), karena dalam akad ini terdapat akad keterikatan yang disepakati oleh bank dana nasabah.[16] Lembaga keuangan yang menerapkan akad ini adalah bank syariah biasanya pada produk pembiayaan perumahan (KPR).\

5)      Syirkah mas’uliyah al-mahdudah
Syirkah mas’uliyah al-mahdudah (kongsi pertanggungjawaban terbatas) adalah perkongsian bisnis mirip denagn syirkah amwal. Dalam Syirkah mas’uliyah al-mahdudah tidak ada badan usaha perkongsian, dan dalam peraturan perundang-undangan ditetapkan bahwa jumlah syarik yang berkongsi tidak lebih dari 50 syarik. Setiap syarik bertanggung jawab sesuai dengan jumlah saham yang dimiliki, oleh karena itu syirkah Syirkah mas’uliyah al-mahdudah merupakan gabungan natara syirkah amwal dan syirkah abdan. Syirkah mas’uliyah al-mahdudah dianggap pengembangan dari syirkah amwal karena pertanggungjawaban syarik terbatas, yaitu sesuai dengan porsi modal (jumlah saham) yang dimiliki. Apabila kepemilikan saham berpindah pada ahli warisnya, sementara pengelolaan syirkah nya mirip dengan syirkah musahamah, maka pihak pemegan saham dibolehkan menunjuk (menetapkan) manajer perusahaan baik yang berasal dari kalangan pemegang saham ataupun bukan, dan manajer berhak mendapatkan upah (ujrah) atau pendapatan yang ditentukan secara dinamis yang berupa prosentasi keuntungan perusahaan. Apabila manajer berasal dari pemegang saham, maka syirkah tersebut termasuk pengembangan syirkah abdan (syirkah badan usaha) karena manajerberhak mendapatkan penghasilan sesuai kesepakatan (prosentase keuntungan atau syirkah irbah), bukan atas dasar saham. Modal yang dinilai dengan saham tidak dapat dipindahtangankan seperti layaknya saham di pasar modal. Hukum syirkah mas’uliyah al-mahdudah adalah boleh (ja’iz) dan dianggap sebagi pengembangan dari syirkah ‘inan. Adapun tanggung jawab syirkah mas’uliyah al-mahdudah dianggap sebagai pengembangan dari syirkah mudharabah karena tanggung jawab syarik terbatas pada kuantitas bagiannya, seperti tanggung jawab shahib al-mal (dalam akad mudharabah) terbatas pada jumlah modal yang disertakannya.[17] Perseroan terbatas dari segi konsep syirkah kontemprer disebut syirkah musahamah. Sedangkan lebih khusus pada PT Terbuka secara konseptual berhubungan dengan syirkah mas’iliyah mahdudah, karena terdapat kriteria mengenai jumlah pemilik saham dari perseroan yang bersangkutan.[18]


Soal :
8.      Saat ini terdapat berbagai bentuk perusahaan modern seperti persekutuan komanditer (CV), Perusahaan Terbatas (PT), Koperasi, franchise (waralaba), serta Perusahaan Modal Ventura, jelaskan bentuk-bentuk perusahaan tersebut jika dilihat dari konsep syirkah?
Jawaban :
a)      CV (Perusahaan Komanditer), Persekutuan Komanditer dilihat dari segi konsep syirkah mengandung dua unsur yang disertakan ke dalam perusahaan. Sejumlaha sekutu atau syarik menyertakan modal dan keahlian atau keterampilan ke dalam perusahaan, maka termasuk syirkah amwal dan syirkah abdan. Disisi lain terdapat syarik yang hanya menyertakan modal uang dan barang sebagai modal perusahaan tanpa ikut serta memimpin atau menyelenggarakan perusahaan, syirkah yang dilakukannya mirip dengan mudharabah musytakarah. Dilihat dari segi konsep syirkah kontemporer, identik dengan syirkah taushiyah basithah, yaitu akad syirkah mutadhamin (pihak yang menyertakan modal usaha serta bertanggung jawab atas penngelolaan badan usaha) dan mushi (pihak yang menyertakan harta untuk dijadikan modal badan usaha yang tidakk bertanggung jawab atas manajemen badan usaha dan juga tidak dibebani kewajiban-kewahiban badan usaha.[19]
b)      PT (Perusahaan Terbatas), Perseroan terbatas dari segi konsep syirkah kontemprer disebut syirkah musahamah. Sedangkan lebih khusus pada PT Terbuka secara konseptual berhubungan dengan syirkah mas’iliyah mahdudah, karena terdapat kriteria mengenai jumlah pemilik saham dari perseroan yang bersangkutan.[20]
c)      Koperasi, Dari segi proses pendiriannya termasuk syirkah amwal, dari segi pengelolaan, koperasi dapat dikelompokkan sebagai syirkah taushiyah bashithah (mutadhamin dan mushi), dilihat dari kesewenangan untuk mengangkat pengelola aatu manajemen, koperasi elbih dekat dengan konsep syirkah abdan.[21]
d)      Modal Ventura, Ialah salah satu bentuk kemitraan yang kegiatan usahanya khusus bergerak di bidang penyertaan modal saham untuk membantu kalangan usaha yang mengalami kesulitan modal dari bank. Oleh karena itu PMV dapat dipastikan melakukan syirkah amwal.  Tetapi karena penyertaan modalnya dalam bentuk saham, PMV juga melakukan syirkah musahamah.[22]
Soal :
9.      Berdasarkan ketentuan fiqh muamalah, tidak dibenarkan adanya jaminan dalam akad mudharabah atau musyarakah, jelaskan pandangan saudara terhadap pengenaan jaminan dalam kedua akad tersebut dalam praktik lembaga keuangan Syariah saat ini.
Jawaban :
Akad mudharabah dan musyarakah adalah salah satu akad amanah di mana pengelola dikategorikan sebagai amin atau terpercaya. Oleh karena itu, menurut fikih tidak bertanggung jawab atas potensi kerugian jika terjadi bukan akibat kelalaiannya. Jaminan yang dimaksud dalam diskusi dan fatwa DSN itu bukan rahn atau kolateral atau agunan, melainkan kondisi pengelola atau syarik atau mitra yang bertanggung jawab atas pengembalian modal atau tidak. Oleh karena itu, fatwa ini termasuk klausul bahwa nasabah boleh membuat pernyataan bahwa yang bersangkutan bersedia untuk mengembalikan modal walaupun posisi usaha tidak untung.
Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas pengkreditan atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dana prospek usaha dari nasabah debitur”[23]
Begitu juga pada Penjelasan Pasal 37 ayat (1) dan Pasal 23 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, menegaskan bahwa “Penyaluran dana berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Syariah dan UUS mengandung risiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan Bank Syariah dan UUS”. Untuk itu dan/atau UUS harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon Nasabah Penerima Fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum Bank Syariah dan/atau UUS menyalurkan dana kepada Nasabah Penerima Fasilitas. Dan untuk memperoleh keyakinan tersebut. Bank Syariah dan/atau UUS wajib melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari calon nasabah penerima fasilitas”[24]
Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 menyebutkan bahwa dalam pembiayaan Musyarakah pada prinsipnya tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan oleh nasabah (syarik), bank syariah boleh meminta jaminan. Berlandaskan fatwa tersebut, dalam pembiayaan Musyarakah kedudukan jaminan hanya sebagai bentuk kehati-hatian (penerapan prudential banking principle ). Keberadaan jaminan sebagai bentuk kehati-hatian menjadi hal yang mutlak harus ada yang harus disediakan oleh pihak nasabah debitur. 
Fungsi jaminan dalam akad musyarakah adalah sebagai salah satu langkah untuk melindungi dana masyarakat agar tidak hilang begitu saja akibat keteledoran dari nasabah, hal ini merupakan suatu prinsip kehati-hatian yang diharuskan oleh pihak manajemen dalam pembiayaan. Bagi nasabah jaminan berfungsi sebagai cerminan rasa tanggung jawab atas usaha yang diberikan modal olehbank sehingga dapat menjalankan usahanya dengan serius.
Soal :
10.  Sebut dan jelaskan satu bentuk transaksi atau kegiatan usaha yang menurut saudara bertentangan dengan prinsip muamalah/Syariah.
Jawaban :
Transaksi peminjaman yang dilakukan oleh sebuah lembaga keuangan dimana setiap pinjaman yang diberikan kepada nasabahnya menggunakan akad qard dan mengenakan biaya tambahan keuntungan yang pasti setiap bulannya sedangkan modal yang diberikan kepada nasabah adalah modal dengan tujuan modal usaha. Adapaun terjadi kerugian nasabah harus menanggung kerugian tersebut. Dalam praktiknya sekilah adalah bentuk kerja sama tetapi secara praktiknya pihak lembaga keuangan tersebut hanya memberikan sejumlah pinjaman uang dan pinjaman uang tersebut harus dikembalikan dengan menambahkan sejumlah keuntungan berdasakan waktunya, semakin lama waktunya maka keuntungan yang harus dibayarkan nasabah kepada lembaga keuangan tersebut semakin besar.
Pada pinjaman tersebut pihak lembaga keuangan menetapkan jaminan, jika terjadi kerugian yang bukan disebabkan oleh kelalaian nasabah maka jaminan tersebut tetap akan dilelang untuk menutupi pinjaman dari si nasabah. Jika ditelusuri akad yang digunakan adalah akad qard yang tergolong akad tabarru’, dimana pada akad tersebut tidak diperbolehkan melakukan pengambilan keuntungan. Dan apa yang telah dilakukan oleh lembaga keuangan tersebut telah menzalimi pihak nasabah. Dalam konsep dasar ekonomi syariah Allah SWT melarang setiap manusia dalam melakukan transaksi bermu’amalah melakukan kezaliman terhadap diri sendiri dan juga orang lain.


Referensi pendukung bacaan:
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajagrafindo, 2002.
Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kotemporer, Jakarta: RajaGrafindo, 2016
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Mu’amalat, Jakarta: AMZAH, 2013.



[1]Adiwarman A.Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 66.
[2]Ashfia, Tazkia, dkk. Jurnal yang berjudul : Analisis Pengaturan Akad Tabarru’ dan Akad Tijarah Pada Asuransi Syariah Menurut Fatwa DSN Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, hlm.4.
[3]Rachmat Syafie, Fiqih Muamalat, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2006), hlm. 33.
[4] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainya,  (Jakarta: Rajawali Pers. 2011), hlm 56.
[5] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat Sistem transaksi dalam Islam, (Jakarta:Amzah, 2010), hlm 15-17
[6] Makalah disampaikan pada acara Diskusi Hukum dengan tema “Multi Akad Dalam Perspektif Ekonomi Syari’ah Kontemporer” yang diadakan di Pengadilan Tinggi Agama Jawa Barat, hari Kamis 22 Februari 2018.
[7] Derry Iswidharmanjaya, Dropshipping Cara Mudah Bisnis Online, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2012), hlm. 5.
[8]Wakalah muthlaqah adalah perwakilan yang tidak terikat syarat tertentu. Sebaliknya yaitu akad wakalah muqayyadah meuprupakan akad perwakilan yang terikat oleh syaratsyarat yang ditentukan dan disepakati bersama antara wakil dan muwakil. Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indoensia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 185.
[9]Muflihatul Bariroh, Jurnal AHKAM, Volume 4, Nomor 2, November 2016: 199-21
[10] Maulana Hasanudin dan Jaih Mubarok, Perkembangan Akad Musyarakah, (Jakarta: Kencana, 2012), 55.
[11] Ibid, hlm. 136.
[12] Ibid, hlm. 56.
[13] Ibid, hlm. 142.
[14] Ibid, hlm. 58.
[15] Muhammad Sharif Chaudry, Sistem Ekonomi Islam: Prinsip Dasar, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 211.
[16] Maulana Hasanudin dan Jaih Mubarok, Perkembangan Akad Musyarakah,... hlm. 58.
[17] Ibid, hlm. 75.
[18] Ibid, hlm. 147.
[19] Ibid, hlm. 142
[20] Ibid, hlm. 147.
[21] Ibid, hlm. 151.
[22] Ibid, hlm. 161.
[23]Djamil Fattturahman, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 42.
[24]Ibid, hlm. 42.