Tugas Final Fiqh muamalah tentang macam-macam akad yang digunakan pada saat bermuamalah.
Nama : Muhammad Reza
Palevy
Nim : 29173489
Dosen : Dr. Nevi Hasnita, M.Ag
Soal Midterm
dan Final Fiqh Muamalah untuk Mahasiswa Ekonomi Syariah Pascasarjana UIN
Ar-Raniry. Jawablah Soal Berikut dengan mencantumkan referensi yang anda
Gunakan.
Soal :
1.
Dalam Fiqh muamalah terdapat
berbagai macam akad yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan transaksi dan
keinginan para pihak, buatlah klasifikasi akad yang anda ketahui dalam fiqh
muamalah berdasarkan pada basis atau pola dasar akadnya.
Jawaban
:
A. Akad
Tabarru’
Akad tabarru’ (gratuitious contract) adalah segala macam
perjanjian yang menyangkut non-for profit transaction (transaksi nirlaba).
Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan
komersil. Akad tabarru’ini memiliki prinsip sosial yaitu menolong sesama.
Contoh akad-akad tabarru’ adalah qard, rahn, hiwalah, wakalah, kafalah, wadiah,
hibah, waqf, shadaqah, dan hadiah.[1]
Pada dasarnya dalam akad tabarru’ ada dua hal yaitu memberikan
sesuatu atau meminjamkan sesuatu baik objek pinjamannya berupa uang atau jasa.
1)
Dalam
bentuk meminjamkan uang
Ada tiga jenis akad dalam bentuk meminjamkan uang yakni :
a)
Qard,
merupakan pinjaman yang diberikan tanpa adanya syarat apapun dengan adanya
batas jangka waktu untuk mengembalikan pinjaman uang tersebut.
b)
Rahn adalah
menahan salah satu harta milik sipeminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang
diterimanya.
c)
Hiwalah, merupakan
bentuk pemberian pinjaman uang yang bertujuan mengambil alih piutang dari pihak
lain.
2)
Dalam
bentuk meminjamkan Jasa
Ada tiga jenis
akad dalam meminjamkan jasa yakni :
a)
Wakalah,
merupakan akad pemberian kuasa (muwakkil) kepada penerima kuasa (wakil) untuk
melaksanakan suatu tugas (taukil) atas nama pemberi kuasa.
b)
Wadi’ah, dapat
dilakukan dengan cara kita memberikan sebuah jasa untuk sebuah penitipan atau
pemeliharaan yang kita lakukan sebagai ganti orang lain yang mempunyai
tanggungan. Pembagian wadi’ah sebagai berikut :
·
Wadi’ah
Yad Al-Amanah
Akad Wadiah
dimana barang yang dititipkan tidak dapat dimanfaatkan oleh penerima titipan
dan penerima titipan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan
barang titipan selama si penerima titipan tidak lalai.
·
Wadi’ah
Yad Ad-Dhamanah
Akad Wadiah
dimana barang atau uang yang dititipkan dapat dipergunakan oleh penerima
titipan dengan atau tanpa ijin pemilik barang. dari hasil penggunaan barang
atau uang ini si pemilik dapat diberikan kelebihan keuntungan dalam bentuk
bonus dimana pemberiannya tidak mengikat dan tidak diperjanjikan.
c)
Kafalah, merupakan
akad pemberian jaminan yang diberikan satu pihak kepada pihak lain dimana
pemberi jaminan bertanggung jawab atas pembayaran kembali suatu hutang yang
menjadi hak penerima jaminan.
3)
Memberikan
Sesuatu
Bentuk
akad memberikan sesuatu adalah akad-akad : hibah, wakaf, shadaqah, hadiah, dll.
Dalam semua akad-akad tersebut, si pelaku memberikan sesuatu kepada orang lain.
Bila penggunaannya untuk kepentingan umum dan agama, maka akadnya
dinamakan wakaf. Objek wakaf ini tidak boleh diperjual belikan begitu sebagai
aset wakaf. Sedangkan hibah dan hadiah adalah pemberian sesuatu secara sukarela
kepada orang lain.
B.
Pengertian Akad Tijarah
Tijarah adalah akad perdagangan yaitu mempertukarkan harta
dengan harta menurut cara yang telah ditentukan dan bermanfaat serta dibolehkan
oleh syariah. Semua bentuk akad yang ditujukan untuk tujuan komersial, yaitu
akad yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan. Berdasarkan tingkat kepastian
dari hasil yang diperolehnya, akad tijarah dibagi menjadi dua kelompok besar,
yakni :
1)
Natural
Certainty Contracts (NCC)
Dalam NCC, kedua belah pihak saling mempertukarkan aset yang
dimilikinya, karena itu objek pertukarannya (baik barang maupun jasa) harus
ditetapkan di awal akad dengan pasti, baik jumlahnya (quantity), mutunya
(quality), harganya (price) dan waktu penyerahannya (time of delivery). Jadi,
kontrak-kontrak ini secara sunnatullah (by their nature) menawarkan return yang
tetap dan pasti. Yang termasuk kedalam kategori ini adalah kontrak-kontrak yang
berbasis jual beli, upah-mengupah, dan sewa-menyewa, yaitu :
a. Akad
jual beli (al-Ba’i, Salam, dan istishna’)
b. Akad
sewa-menyewa (ijarah dan IMBT)
1)
Natural
Uncertainty Contract (NUC)
Dalam NUC, pihak-pihak yang bertransaksi saling mencampurkan
asetnya (baik real assets maupun financial assets) menjadi satu
kesatuan, dan kemudian menanggung risiko bersama-sama untuk mendapatkan
keuntungan. Percampuran yang dimaksud dalam teori ini adalah mencampurkan
atau menggabungkan aset menjadi satu kesatuan, selanjutnya kedua belah pihak
terkait akan menanggung resiko dari kegiatan usaha yang dilakukan bersama
tersebut dan membagi keuntungan atau laba sesuai kesepakatan bersama.
Berdasarkan teori percampuran ini, akad atau perjanjian yang biasa digunakan
bertujuan untuk investasi sehingga dalam hal ini tidak memberikan kepastian
imbalan (return) di awal. Konsep dalam berinvestasi yaitu bahwa
tingkat return yang diperoleh dapat bersifat positif (untung),
negatif (rugi), atau nol (balik modal).[2]
Contoh-contoh
NUC adalah sebagai-berikut :
a)
Mudharabah
(Mutlaqah dan Muqayyadah)
b)
Musyarakah
( wujuh, ‘inan, abdan, muwafadhah, mudharabah).
c)
Muzara’ah
d)
Musaqah
e)
Mukhabarah
Pembagian Akad
Tabarru’
|
Tijarah
|
1)
Bentuk
Pinjaman (Qard, Rahn, Hiwalah)
2)
Bentuk
Jasa (Wakalah, Wadhi’ah, Kafalah)
3)
Memberikan
Sesuatu (hibah, wakaf, shadaqah, hadiah)
|
2)
Natural
Certainty Contract (al-Ba’i, Salam, Istishna’, Ijarah dan IMBT)
3)
Natural
Uncertainty Contract (Mudharabah, Musyarakah, Muzara’ah, Musaqah, dan
Mukhabarah)
|
Soal:
2.
Harta
dalam Islam dibedakan menjadi beberapa kategori, jelaskan pembedaan jenis-jenis
harta dalam fiqh muamalah dan konsekuensi hukum dari pembedaan tersebut.
Jawaban:
Harta terdiri dari beberapa bagian dan tiap-tiap bagian memiliki
ciri khusus dan hukumnya tersendiri. Pembagian jenis harta ini
sebagai berikut:
1)
Harta Mutaqawwin
dan Ghair Mutaqawwin
a)
Harta
mutaqawwin ialah sesuatu yang boleh diambil manfaatnya menurut syara’ yaitu
semua harta yang baik jenisnya maupun cara memperoleh dan penggunaanya. Sebagai
contoh: kerbau halal dimakan oleh umat muslim, tetapi kerbau tersebut
disembelihnya tidak sah menurut syara’, misalnya dipukul, ditembak, dll.
b)
Harta
ghair mutaqawwin ialah sesuatu yang tidak boleh diambil menurut syara’ yaitu
kebalikan dari harta mutaqawwin, yakni yang tidak boleh diambil manfaatnya,
baik jenisnya, cara memperolehnya, maupun cara penggunaannya. Contohnya: sepatu
yang diperoleh dengan cara mencuri termasuk ghair mutaqawwin karena
memperolehya dengan cara yang haram.
Konsekuensi hukumnya :
a)
Sah
dan Tidaknya Akad
Harta mutaqawwim sah dijadikan akad dalam berbagai aktivitas
muamalah, seperti hibbah, pinjam meminjam, dll. Sedangkan harta ghair
mutaqawwim tidak sah dijadikan akad dalam bermuamalah. Pendapat ini disampaikan
oleh ulama Hanafiyah.
b)
Tanggungjawab
Ketika Rusak
Jika seseorang merusak harta mutaqawwim, maka ia bertanggungjawab
untuk menggantinya. Akan tetapi, jika merusak harta ghair mutaqawwim, ia tidak
bertanggungjawab untuk menggantinya.
2)
Harta Mitsli
dan Harta Qimi
a)
Harta
mitsli ialah benda-benda yang ada persamaan dalam kesatuan-kesatuannya, dalam
arti dapat berdiri sebagiannya di tempat yang lain, tanpa ada perbedaan yang
perlu dinilai. Jadi, harta mitsli adalah harta yang ada
imbangannya (persamaan). Seperti harta yang jenisnya diperoleh di pasar (secara
persis).
b)
Harta
qimi ialah benda-benda yang kurang dalam kesatuan-kesatuannya, karena tidak
dapat berdiri sebagian di tempat sebagian yang lainnya tanpa ada perbedaan.
Jadi, harta qimi adalah harta yang tidak ada imbangannya secara tepat.
Seperti harta yang jenisnya sulit di dapatkan di pasar, bisa di peroleh tetapi
jenisnya berbeda, kecuali dalam nilai harganya.
3)
Harta
Istihlak dan Harta Isti’mal
a)
Harta
istihlak ialah sesuatu yang tidak dapat diambil kegunaan dan manfaatnya secara biasa,
kecuali dengan menghabiskannya. Harta istihlak dibagi menjadi dua, ada yang
istihlak haqiqi dan istihlak huquqi.
·
Harta
istihlak haqiqi ialah suatu benda yang menjadi harta yang secara jelas (nyata)
zatnya habis sekali digunakan. Misalnya, korek api bila dibakar, maka
habislah harta yang berupa kayu itu.
·
Harta
huquqi ialah harta yang sudah habis nilainya bila telah digunakan, tetapi
zatnya masih tetap ada. Misanya uang yang digunakan untuk membayar hutang,
dipandang habis menurut hukum walaupun uang tersebut masih utuh, tetapi hanya
pindah kepemiliknya.
b)
Harta
isti’mal ialah sesuatu yang dapat digunakan berulang kali dan materinya tetap
terpelihara. Harta isti’mal tidaklah habis sekali digunakan, tetapi dapat
digunakan lama menurut apa adanya. Seperti kebun, tempat tidur, pakaian,
sepatu, dll.
4)
Harta
Manqul dan Harta Ghair Manqul
a)
Harta
manqul ialah segala harta yang dapat dipindahkan (bergerak) dari satu
tempat ke tempat lain. Seperti emas, perak, perunggu, pakaian,
kendaraan, dll.
b)
Harta
ghair manqul ialah sesuatu yang tidak bisa dipindahkan dan dibawa dari satu
tempat ke tempat yang lain. Seperti kebun, rumah, pabrik, sawah, dll.
Istilahnya benda bergerak dan benda tetap.
5)
Harta
Mamluk, Mubah, dan Mahjur
a)
Harta
mamluk ialah sesuatu yang masuk ke bawah milik, milik perorangan maupun
milik badan hukum, seperti pemerintah dan yayasan. Harta mamluk(yang dimiliki)
terbagi manjadi dua macam yaitu:
·
Harta
perorangan (mustaqil) yang berpautan dengan hak bukan pemilik, misalnya
rumah yang di kontrakkan. Harta perorangan yang tidak berpautan dengan hak
bukan pemilik, misalnya seseorang yang mempunyai sepasang sepatu dapat
digunakan kapan saja.
·
Harta
perkongsian (masyarakat) antara dua pemilik yang berkaitan dengan hak yang
bukan pemiliknya, seperti dua orang yang berkongsi memiliki sebuah pabrik dan
lima buah mobil, salah satu mobilnya disewakan selama satu bulan kepada orang
lain. Harta yang dimiliki oleh dua orang yang tidak berkaitan dengan hak bukan
pemiliknya, seperti dua orang yang berkongsi memiliki sebuah pabrik dan pabrik
tersebut diurus bersama.
b)
Harta
mubah ialah sesuatu yang pada asalnya bukan milik seseorang, seperti air pada
mata air, binatang buruan darat, laut, pohon-pohon di hutan dan buah-buahannya.
c)
Harta
mahjur ialah sesuatu yang tidak dibolehkan dimiliki sendiri dan memberikan
kepada orang lain menurut syari’at, adakalanya benda itu benda wakaf ataupun
benda yang dikhususkan untuk masyarakat umum,seperti jalan raya, masjid-masjid,
kuburan, dll.
6)
Harta
yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
a)
Harta
yang dapat dibagi (mal qabil li al-qismah) ialah harta yang tidak menimbulkan
suatu kerugian atau kerusakan apabila harta itu dibagi-bagi, misalnya beras,
tepung, dll.
b)
Harta
yang tidak dapat dibagi (mal ghair qabil li al-qismah) ialah harta yang
menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta tersebut dibagi-bagi,
misalnya gelas, kursi, meja, dll.[3]
Soal :
3.
Dalam
akad murabahah pesanan atau akad Ijarah Muntahiyya bittamlik, terdapat wa’ad
(janji), jelaskan perbedaan antara janji dan akad serta konsekuensi hukum dari
keduanya.
Jawaban:
Wa’ad adalah janji antara satu pihak kepada pihak
lainnya, pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak
lainnya. Dalam Wa’ad bentuk dan kondisinya belum ditetapkan secara rinci dan
spesifik. Bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka sanksi
yang diterimanya lebih merupakan sanksi moral.Hal ini berbeda dengan akad yang
mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat yaitu pihak-pihak terikat
untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati
terlebih dahulu.Dalam akad, bentuk dan kondisinya sudah ditetapkan secara rinci
dan spesifik.Bila salah satu atau kedua pihak yang terikat dalam kontrak itu
tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia/mereka menerima sanksi seperti yang
sudah disepakati dalam akad.[4]
Akad, sebagai sebab timbulnya iltizam. akad secara syar’i yaitu:
“Hubungan antaraijab dan qabul dengan cara yang dibolehkan oleh
syariat yang mempunyai pengaruh secara langsung. “Ini artinya bahwa akad
termasuk dalam kategori hubungan yang mempunyai nilai menurut pandangan syara’
antara dua orang sebagai hasil dari kesepakatan antara keduanya yang kemudian
dua keinginan itu dinamakan ijab dan qobul.[5]
Akad Ijarah Muntahiyah bi al-Tamlik (IMBT) dapat dilihat dalam fatwa
DSN-MUI No: 27/DSN-MUI/III/2002. Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan IMBT adalah perjanjian sewa-menyewa yang disertai dengan opsi
pemindahan hak milik atas benda yang disewa, kepada penyewa, setelah masa sewa.
Hubungan antara wa’d dengan akad IMBT terlihat pada ketentuan kedua, yaitu: (1)
pihak yang melakukan akad IMBT harus melaksanakan akad Ijarah terlebih dahulu.
Akad pemindahan kepemilkan, baik dengan jual beli atau pemberian (hibah), hanya
dapat dilakukan setelah masa ijarah selesai; (2) janji pemindahan kepemilikan
yang disepakati di awal akad ijarah adalah wa’d
yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus
ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah selesai.
Berkaitan
dengan fatwa DSN-MUI tentang janji (wa’ad), dapat dikontruksikan dalam akad
IMBT hukumnya dapat mengikat dan dapat pula tidak mengikat. Kontruksi janji
(wa’d) dalam akad IMBT hukumnya akan mengikat jika janji (wa’d) memenuhi
ketentuan-ketentuan sebagaimana yang disebutkan pada fatwa DSN-MUI tentang
Janji (wa’d), dimana janji (wa’d) akan mengikat jika dikaitkan dengan sesuatu
(syarat) yang harus dipenuhi atau dilaksanakan mau’ud (penerima janji). Syarat
yang harus dipenuhi penerima janji adalah menyelesaikan kewajiban membayar sewa
(ijarah) hingga masa sewa (ijarah) selesai, karena akad pemindahan kepemilikan
dalam akad, baik dengan jual beli atau pemberian (hibah) hanya dapat setelah
masa ijarah selesai, sebagaimana yang telah ditentukan dalam fatwa DSN-MUI No:
27/DSN-MUI/III/2002. Namun, tentunya tidak hanya ketentuan dalam hal ini saja,
kelima ketentuan yang disebut di dalam fatwa DS-MUI tentang janji (wa’d)
tersebut juga harus ikut terpenuhi.
Sebaliknya, janji (wa’d) dalam akad IMBT hukumnya akan tidak mengikat jika dalam konstruksinya janji (wa’d) dalam akad IMBT tidak dikaitkan dengan sesuatu (syarat) yang harus dipenuhi oleh si penerima janji. Janji (wa’d) akan tidak mengikat jika penerima janji tidak menyelesaikan kewajiban membayar sewa hingga akhir masa sewa, dengan demikian akad pemindahan kepemilikan objek sewa tidak dapat dilakukan oleh pemberi janji, karena tidak memenuhi ketentuan tentang akad IMBT dalam Fatwa DSN-MUI Nomor: 27/DSN-MUI/III/2002. Jika salah salah satu dari lima ketentuan khusus pelaksanaan wa’d yang disebut dalam Fatwa DSN-MUI No: 85/DSN-MUI/XII/2012 tidak terpenuhi, maka janji (wa’d) dalam akad IMBT hukumnya ialah tidak mengikat. Hal ini sesuai dengan ketentuan fatwa tersebut bahwa janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad ijarah adalah wa’d yang hukumnya tidak mengikat.
Sebaliknya, janji (wa’d) dalam akad IMBT hukumnya akan tidak mengikat jika dalam konstruksinya janji (wa’d) dalam akad IMBT tidak dikaitkan dengan sesuatu (syarat) yang harus dipenuhi oleh si penerima janji. Janji (wa’d) akan tidak mengikat jika penerima janji tidak menyelesaikan kewajiban membayar sewa hingga akhir masa sewa, dengan demikian akad pemindahan kepemilikan objek sewa tidak dapat dilakukan oleh pemberi janji, karena tidak memenuhi ketentuan tentang akad IMBT dalam Fatwa DSN-MUI Nomor: 27/DSN-MUI/III/2002. Jika salah salah satu dari lima ketentuan khusus pelaksanaan wa’d yang disebut dalam Fatwa DSN-MUI No: 85/DSN-MUI/XII/2012 tidak terpenuhi, maka janji (wa’d) dalam akad IMBT hukumnya ialah tidak mengikat. Hal ini sesuai dengan ketentuan fatwa tersebut bahwa janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad ijarah adalah wa’d yang hukumnya tidak mengikat.
Soal :
4.
Salah
satu contoh perkembangan akad adalah konsep akad yang dulunya merupakan akad
tunggal berubah menjadi akad ganda (Multi akad), jelaskan ketentuan hukum Multi
akad dalam fiqh muamalah, bagaimana kriteria Multi akad yang dibolehkan serta
contoh aplikasi Multi akad dalam fatwa DSN-MUI dan transaksi keuangan Syariah.
Jawaban :
Transaksi Multi
Akad adalah transaksi yang di dalamnya terdapat lebih dari satu jenis akad,
baik secara timbal balik (mutaqabil) atau hanya sekedar pengabungan
beberapa akad dalam satu transaksi (mujtami’). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata
multi berarti banyak, lebih dari satu, lebih dari dua, dan juga berlipat ganda.
Sedangkan kata akad memiliki arti janji, perjanjian dan kontrak. Transaksi
jenis ini biasa juga dikenal dengan istilah hybrid contract.[6]
Dari definisi di atas dapat diambil beberapa kesimpulan tentang batasan
mengenai transaksi multi akad ini, yaitu bahwa:
1) transaksi
multi akad terjadi antara dua pihak atau lebih,
2) Dalam
transaksi ini terjadi dua jenis akad yang beragam atau lebih,
3) Beragam akad
yang berbeda ini saling terikat menjadi satu kesatuan akad, hingga seluruh
akibat dari berbagai akad tersebut seolah menjadi akibat dari akad yang satu,
4) jenis
transaksi multi akad dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu akad yang
mensyaratkan terjadinya adanya akad lain (mutaqabalah) dan berkumpulnya
sejumlah akad sekaligus dalam satu transaksi (mujtama’ah).
Sebagaimana
telah dijelaskan di atas bahwa terdapat dua jenis transaksi multi akad yang
biasa digunakan, yaitu transaksi multi akad bergantung/bersyarat (al-‘uqud al-mutaqabilah) dan
multi akad tergabung (al-‘uqud al-mujtami’ah). Maka pembahasan dalam bagian ini akan dibagi menjadi dua pembahasan,
yaitu hukum transaksi bersyarat akad dan hukum multi akad dalam satu transaksi.
·
Hukum
Transaksi Dengan
Syarat Akad di Dalamnya (syarth ‘aqd fi ‘aqd)
Pembahasan mengenai hukum akad bersyarat di dalam transaksi akan
berkisar pada beberapa hadis yang saling bertentangan mengenai syarat. Beberapa
hadis tersebut adalah:
1- Hadis dari
Jabir bin ‘Abdillah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah
membeli unta darinya dengan syarat ditunggangi oleh Jabir sampai Madinah. Hadis
ini juga diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan al-Nasa’i.
2- Hadis yang
diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ahmad, dan Abu Dawud bahwa Rasulullah saw. pernah
bersabda: “Janji perdamaian itu diperbolehkan di
antara sesama muslim, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram, sesama muslim itu konsisten dengan syarat-syarat
mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”.
3- Hadis yang
dikenal dengan istilah hadis Barirah, diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim,
bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: “Kenapa
manusia membuat syarat-syarat yang tak ada di dalam Kitabullah, siapa yang
membuat syarat-syarat yang tak ada di dalam Kitabullah maka syarat itu tidak
berlaku baginya, meski ia menegaskannya seratus kali. Syaratnya Allah itu lebih berhak dan lebih
kuat”.
4- Hadis dari Abdullah bin Amru bin al-‘Ash yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud, Ahmad, Tirmidzi dan Nasa’I bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: “Tidak
halal akad salaf (qardh) bersama akad bai’, dan juga dua syarat
dalam satu akad bai’, dan keuntungan yang tidak kamu jamin, dan menjual apa
yang tidak kamu miliki”.
Dalam hadis-hadis di atas, kita dapat mengetahui bahwa hadis pertama dan
kedua adalah hadis yang menunjukkan kebolehan syarat, dan hadis ketiga dan
keempat adalah hadis yang melarang adanya syarat. Dan baik dari hadis yang
membolehkan ataupun yang melarang terdapat hadis yang bersifat umum dan
bersifat khusus. Hadis pertama bersifat khusus, secara jelas menyatakan
terjadinya syarat di dalam akad bai’ di masa Rasulullah. Hadis kedua
bersifat umum, mencakup berbagai syarat yang bisa dilakukan, dengan syarat
tidak mengganggu gugat konsep halal dan haram. Perpaduan antara dua hadis umum
dan khusus ini dapat menjadi landasan adanya syarat di dalam akad, tak hanya
terbatas pada akad bai’ saja namun juga berbagai akad lain selama sesuai
dengan petunjuk keumuman hadis yang kedua.
Soal :
5.
Perkembangan
teknologi juga mendorong munculnya berbagai model transaksi baru yang menggunakan
aplikasi tertentu, seperti ojek Online, pesanan makanan melalui ojek Online,
Online Shop baik dengan sistem dropsihipping, reseller atau marketplace,
jelaskan hukum transaksi tersebut dan akad-akad apasaja yang terdapat dalam
transaksi di atas.
Jawaban:
Dropshipping adalah suatu usaha penjualan produk tanpa harus
memiliki produk apa pun. Dropshipping dapat diartikan juga suatu sistem
transaksi jual beli dimana pihak dropshipper menentukan harga barang sendiri,
namun setelah mendapat pesanan barang, dropshipper langsung membeli barang dari
supplier.[7]
Secara umum, model kerjasama antara dropshipper dengan supplier ada
2 macam, yaitu:
1)
Supplier
memberikan harga ke dropshipper, kemudian dropshipper dapat menjual barang
kepada konsumen dengan harga yang ditetapkannya sendiri dengan memasukkan
keuntungan dropshipper.
2)
Harga
sejak awal sudah ditetapkan oleh supplier, termasuk besaran fee untuk
dropshipper bagi setiap barang yang terjual. Pada jenis pertama, suplier
memberikan kebebasan kepada dropshipper untuk memasarkan suatu produk dengan
penetapan harga sesuai keinginan dropshipper, biasanya tidak ada biaya
pendaftaran serta tidak ada batas minimal pembelian. Jenis inilah yang paling
mudah serta banyak digemari oleh pelaku bisnis dropshipping. Sedangkan pada
jenis kedua, umumnya ada biaya pendaftaran anggota dan terdapat batas minimal
penjualan.
Keuntungan penjual sebagai dropshipper diperoleh dari selisih harga
dari supplier kepada dropshipper dengan harga dropshipper kepada pembeli. Dalam
sistem ini, konsumen terlebih dahulu membayar secara tunai atau transfer ke
rekening dropshipper. Selanjutnya dropshipper membayar ke supplier sesuai harga
beli dropshipper disertai ongkos kirim barang ke alamat konsumen.
Bahwa khazanah fiqh Islam sangat kaya akan akad-akad yang sesuai
dengan aktivitas dropshipping. Ada
bebrapa alternatif akad yang bisa digunakan untuk dropshipper yakni bisa
menggunakan akad salam, wakalah ataupun samsarah.
Akad salam dipilih
sebagai alternatif dan solusi dalam menjalankan bisnis dropshipping, maka
dropshipper berkewajiban menyertakan berbagai kriteria dan spesifikasi yang
terdapat pada gambar barang yang ditawarkan kepada calon konsumen. Setalah
adanya kesepakatan kedua belah pihak, maka konsumen mengirimkan uang tunai
kepada dropshipper seharga barang yang hendak dibeli ditambah ongkos kirim,
kemudian dropshipper mencarikan barang pesanan pembeli kepada pihak suplier
yang sebelumnya dropshipper telah menjalin kerjasama dan meminta izin kepada
suplier untuk menjadi mitra sebagai
dropshipper, sehingga setelah dropshipper membeli barang sesuai pesanan, selanjutnya barang pesanan akan dikirim oleh
supplier langsung kepada konsumen atas nama dropshipper. Sistem semacam ini
disebut akad salam atau jual beli sistem pesanan. Pengunaan akad salam
diperbolehkan dalam sistem transaksi bisnis dropshipping selama memenuhi syarat
akad salam sebagaimana yang telah penulis uraikan pada bagian sebelumnya
seperti persyaratan kewajiban dropshipper untuk menjelaskan spesifikasi barang
yang ditawarkan secara jujur baik dari segi kualitas dan kuantitas serta
kewajiban pihak konsumen untuk membayar tunai atau lunas pada awal akad.
Apabila akad wakalah yang digunakan sebagai solusi dalam
transkasi dropshipping, maka menurut penulis sebenarnya akad wakalah adalah
akad yang paling sederhana dan paling mudah, karena posisi dropshipper hanya
sebagai wakil dari suplier selaku muwakkil sekaligus pemilik barang untuk turut
serta menjualkan barang milik suplier. Hal demikian posisi dropshipper lazimnya
sebagai seorang pramuniaga yang sedang bekerja untuk menjualkan komoditas yang
dimiliki oleh suplier, hanya saja sistem penjualannya tidak di toko offline,
namun dalam bentuk lapak online dengan sistem dropshipping. Atas konsekuensi
penggunaan akad wakalah ini pihak dropshipper tidak diperkenankan mengambil
keuntungan dari hasil penjualan melebihi ketentuan yang sudah diamanatkan oleh
suplier. Karena sejatinya pihak dropshipper adalah wakil yang harus menjalankan
semua yang telah ditentukan oleh muwakkil/suplier. Dropshipper akan menerima
keuntungan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak ketika di awal perjanjian
saat dropshipper menawarkan diri sebagai wakil sekaligus meminta izin akan
bertindak sebagai dropshipper. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan jika
dropshipper mendapat keuntungan lebih dari hasil penjualan jika memang
muwakkil/suplier menyatakan dengan akad wakalah muthlaqoh[8]
sehingga dropshipper tidak terikat ketentuan harga tertentu dari suplier.
Akad samsarah adalah
penengah antara penjual dan pembeli atau pemilik barang dengan pembeli untuk
melancarkan sebuah transaksi dengan kompensasi baik berupa imbalan upah
(ujroh), bonus atau komisi (ji’alah). Pekerjaan samsarah dalam fiqih Islam termasuk
akad ijarah, yaitu suatu transaksi memanfaatkan jasa orang lain dengan imbalan.
Apabila akad yang dipakai dalam menjalankan sistem dropshipping
adalah akad samsarah, maka sebelum menjalankan sistem dropshipping, terlebih
dahulu seseorang menjalin kesepakatan kerjasama dengan supplier harga barang
tidak ditetapkan sendiri, tetapi ditetapkan oleh supplier. Atas kerjasama
ini seseorang mendapatkan wewenang untuk
turut memasarkan barang dagangannya. Dropshipper di sini bertindak sebagai
makelar dan hanya menjalankan marketing dan berhak mendapat fee (upah) dari
setiap barang yang terjual. Penentuan fee bisa saja dihitung baik berdasarkan
waktu kerjasama atau berdasarkan jumlah barang yang telah dijual. Transaksi
semacam ini dalam fikih muamalah disebut dengan transaksi ju’alah yang artinya
suatu janji upah apabila dia mampu menyelesaikan pekerjaannya.[9]
Soal :
6.
Bagaimanakah
penggunaan e-money atau aplikasi pembayaran/pembelian seperti pay-tren milik
Yusuf Mansur, T-cash (telkomsel) atau Go-pay (gojek) dalam perspekstif fiqh
muamalah
Jawaban :
Saat ini beberapa Bank Syariah juga telah mengeluarkan produk yang
terkait dengan uang elektronik. Mereka tidak akan berani meluncurkan produk itu
kecuali setelah mendapat dukungan dari otoritas jasa keuangan dan MUI dalam hal
ini melalui fatwa Dewan Syariah Nasional, artinya uang elektronik sudah sah
digunakan baik menurut agama maupun Negara. Selanjutnya yang dibutuhkan adalah
kebijakan dan penghematan dalam menggunakannya, agar tidak boros &
menyebabkan kerugian di lain hari.
·
Prinsip-prinsip
Syariah dalam Transaksi Uang Elektronik
1)
Tidak
Mengandung Maysir (unsur perjudian, untung-untungan atau spekulatif yang
tinggi).
2)
Tidak
Menimbulkan Riba yang berbentuk pengambilan tambahan, baik dalam transaksi
jual-beli maupun pinjam-meminjam dan pengalihan harta secara batil.
3)
Pertukaran
antara nilai uang tunai dengan nilai uang elektronik harus sama jumlahnya
(tamatsul) baik kualitas maupun kuantitasnya, jika tidak, maka tergolong ke
dalam bentuk riba al-fadl
4)
Pertukaran
antara nilai uang tunai dengan nilai uang elektronik harus dilakukan secara
tunai (taqabudh), jika tidak, maka tergolong ke dalam bentuk riba al-nasiah
(penundaan penyerahan salah satu dua barang yang dipertukarkan dalam jual-beli
barang ribawi yang sejenis).
5)
Tidak
Mendorong Israf (Pengeluaran yang
Berlebihan) uang elektronik pada dasarnya digunakan sebagai alat pembayaran
ritail/mikro, agar terhindar dari Israf(pengeluaran yang berlebihan) dalam
konsumsi dilakukan pembatasan jumlah nilai uang elektronik serta batas paling
banyak total nilai transaksi uang elektronik dalam periode tertentu.
6)
Tidak
Digunakan untuk Transaksi objek Haram dan Maksiat Uang elektronik.
Dengan
dipersamakannya uang elektronik dengan uang, maka pertukaran antara nilai uang
tunai (cash) dengan nilai uang elektronik merupakan pertukaran atau jual beli
mata uang sejenis yang dalam literatur Fikih Muamalat dikenal dengan al-Sharf.
Disamping al-shorf terdapat akad-akad lain yang terkait dengan transaksi uang
elektronik, diantaranya adalah : al-ijarah, dan wakalah.
Relevansi akad Sharf dalam implementasi uang elektronik dapat
dilihat pada syarat-syarat akad berikut ini :
·
syarat
akad tunai (al-Taqabudh), nilai uang elektronik yang berada di tangan
pemegang sepenuhnya berada dalam kekuasaan pemegang dan dana float yang
terkumpul di penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana yang diatur dalam
Undang-Undang tentang Perbankan dan sepenuhnya berada dalam penguasaan.
·
syarat
al-tamatsul (jumlahnya sama), nilai satu Rupiah pada nilai uang elektronik
harus sama dengan satu Rupiah pada uang tunai (cash).
·
syarat
tidak boleh ada Khiyar Syarat, dalam transaksi uang elektronik tidak terdapat
Khiyar Syarat, pada saat transaksi dilakukan, ketika masing-masing pihak telah
menunaikan kewajiban dan mendapatkan haknya, maka transaksi telah selesai.
·
syarat
tidak boleh ditangguhkan, Pada saat proses penerbitan, ketika pihak pemegang
menyetorkan uang, maka penerbit saat itu juga menyerahkan nilai uang elektronik
kepada pemegang dan pada saat terjadi redeem baik oleh pemegang atau oleh
pedagang, penerbit harus dapat menunaikannya secara tepat waktu.
Akad-akad Lain yang Terkait dengan
uang elektronik.
Melihat dari relevansi tersebut di
atas, maka jelaslah bahwa akad utama yang digunakan dalam penyelenggaraan uang
elektronik adalah akad Sharf, yaitu tukar-menukar atau jual beli uang. Namun
dalam implementasinya, penyelenggaraan uang elektronik dapat dilengkapi oleh
akad-akad lain, yaitu :
a)
Akad
Ijarah
Ijarah adalah transaksi sewa menyewa atas suatu barang dan atau
upah mengupah atas suatu jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau
imbalan jasa. Akad ijarah digunakan dalam hal terdapat transaksi sewa menyewa
atas perlengkapan/peralatan dan atau terdapat pelayanan jasa dalam
penyelenggaraan uang elektronik.
b)
Akad
Wakalah
Wakalah adalah pemberian kuasa kepada orang lain untuk bertindak
sebagai pemberi kuasa dalam transaksi yang diperbolehkan dan diketahui. Akad
Wakalah digunakan dalam hal penerbit bekerjasama dengan pihak lain sebagai agen
penerbit dan/atau terdapat bentuk perwakilan lain dalam transaksi uang
elektronik
Soal :
7.
Bentuk
syirkah mengalami perkembangan yang cukup signifikan, selain bentuk syirkah
Inan, Syirkah wujuh, syirkah mufawadhah, serta syirkah Abdan yang sudah dikenal
dalam fiqh muamalah, juga terdapat berbagai bentuk syirkah kontemporer lainnya,
seperti syirkah tadhamun,
syirkah taushiyah basithah, syirkah muhashah, syirkah mutanaqihsah, dan syirkah
mas’uliyah. Jelaskan bentuk bentuk syirkah modern di atas beserta contoh
aplikasinya.
Jawaban :
1) Syirkah Tadhamun
Yaitu
perkongsian antara dua pihak atau lebih denagn maksud melakukan kegiatan bisnis
guna memperoleh keuntungan yang mana para syarik bertanggung jawab dan saling
menjamin (tadhamun) terhadap semua kewajiban badan usaha yang tidak
hanya terbatas pada jumlah modal yang disertakannya, tetapi bertanggung jawab
terhadap keseluruhan harta badan usaha yang didasarkan pada akad syirkah.[10] persekutuan firma adalah
persekutuan kerja yang berarti lebih tepat dikelompokkan sebagai syirkah abdan.
Dari segi perkembangan akad syirkah yang tergolong baru, firma dapat dinyatakan
sebagai syirkah tadhamun, karena unsur utama dalam syirkah tadhamun adalah
tanggung jawab (dhmanah).[11]
2) Syirkah Taushiyah Basithah
Syirkah
ini didefinisikan sebagai akad syirkah antara mutadhamin dan Mushi. Mutadhamin
adalah pihal yang menyertakan modal usaha serta bertanggung jawab atas
pengolahan badan usaha (pihak manajemen). Pihak mutadhamin lah yang
merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan dan mengontrol badan usaha serta
bertanggung jawab untuk menunaikan kewajiban-kewajiban badan usaha. Sedangkan
mushi adalah pihak yang menyertakan harta untuk dijadikan modal badan usaha
yang tidak bertanggung jawab atas manajemen badan usaha dan juga tidak dibebani
kewajiban-kewajiban badan usaha.[12]
Persekutuan
Komanditer dilihat dari segi konsep syirkah mengandung dua unsur yang
disertakan ke dalam perusahaan. Sejumlaha sekutu atau syarik menyertakan modal
dan keahlian atau keterampilan ke dalam perusahaan, maka termasuk syirkah amwal
dan syirkah abdan. Dilihat dari segi konsep syirkah kontemporer, identik dengan
syirkah taushiyah basithah, yaitu akad syirkah mutadhamin (pihak yang
menyertakan modal usaha serta bertanggung jawab atas penngelolaan badan usaha)
dan mushi (pihak yang menyertakan harta untuk dijadikan modal badan usaha yang
tidakk bertanggung jawab atas manajemen badan usaha dan juga tidak dibebani
kewajiban-kewahiban badan usaha.[13]
3) Syirkah Muhashah
Tidak
seperti akad syirkah lainnya yang menuntut dua pihak atau lebih untuk
menyerakan modal yang berupa harta atau keterampilan untuk mendapatkan profit.
Dalam syirkah muhashah tidka terdapat penyertaan harta untuk dijadkan modal
bersama juga tidak terdapat nomenlaktur (judul kontrak) syirkah, oleh karena
itu syirkah muhashah luput dari perhatian jumhur ulama, tidak dikenal oleh
masyarakat, tidak wujud secara fisik, dan juga tidak ada badan usaha (badan
hukum) sebagai subjek hukum seperti syirkah pada umumnya. Syirkah muhashah
disebut dengan syirkah temporal (syirkah waqtiyyah) seperti lelang atau
jaul-beli yang menggunakan jasa pihak ketiga (Samsarah) guna memperoleh laba
bersih secara cepat dan seketika setelah penjualan atau lelang berlangsung. Hal
yang konkret bahwa salah satu syarik mewakili syarik lainnya (bertindak hukum
atas nama syarik lainnya), pada saat itulah syirkah berlangsung dan tidak ada
badan usaha syirkah.[14] Sindikat Ialah suatu
kerja sama antara beberapa pihak untuk melaksanakan proyek khusus yang didasarkan
pada suatu perjanjain. Perjanjian sindikat menetapkan tentang keanggotaan
sindikat dan cara-caramendapatkan laba atas menanggung kerugian, disesuaikan
denagn jumlah dana yang mereka sertakan. Secara konseptual, sindikat mirip
dengan syirkah muhashah.[15]
4) Syirkah Mutanaqishah
Terdapat
sejumlah istilah yang berbeda yang diperkenanlkan oleh para ulama. Pertama,
syirkah mutanaqishah adalah kerja sama antara para syarik (dalam hal ini bank
dengan nasabah) guna membeli suatu barang, kemudian barang tersebut dijadikan
modal usaha oleh nasabah untuk mendapatkan keuntungan yang akan dibagi bersama
diantara bank dan nasabah disertai dengan pembelian barang modal milik bank
yang dilakukan secara berangsur sehingga kepemilikan bank terhadap barang modal
semakin lama semakin berkurang. Demikian akad ini dinamai dengan syarakah
mutanaqishah karena memperhatikan kepemilikan bank dalam syirkah, yakni
penyusutan barang modal syirkah yang dimiliki oleh bank karena dibeli oleh
nasabah secara berngsur. Mutanaqishah dalam hal ini berarti penyusustan modal
milik bank karena dibayar (dibeli) oleh nasabah dengan cara diangsur. Dari
gambaran tersebut, apabila dilihat dari segi nasabah jumlah barang modal yanga
dimiliki oleh nasabah semakin lama semakin bertambah karena membeli barang
modal milik bank secara berangsurm oleh karena itu syirkah ini dari segi
nasabah bukan musyarakah mutanaqishah tapi musyarakah ziyadag (zada atau
ziyadah berarti bertambah). Kedua, nama lain dari bit tamlik. Secara
bahasa syirkah mutanaqishah adalah al-musyarakah-al-muntahiyyah bit tamlik
adalah kerja sama antara sejumlah syarik (nasabah dengan bank) dengan
menyertakan harta untuk dijadikan modal usaha, dan modal usaha syirkah tersebut
kenudian dibeli oleh nasabah secara berangsur sampai waktu yang dijanjikan,
kepemilikan modal bank habis (karena dibeli dengan cara angsuran), seluruh
modal usaha syirkah menjadi milik nasabah, dan pada saat itulah syirkah
berakhir. Demikian syirkah ini dinamakan syirkah mutanaqishah adalah
al-musyarakah-al-muntahiyyah bit tamlik karena memperhatikan status kepemilikan
modal usaha bersama pada waktu yang dsepakati, yaitu menjadi milik syarik
(nasabah) secara penuh. Ketiga, nama lainnya adalah musyarakah muqayyadah
(kerja sama terikat), karena dalam akad ini terdapat akad keterikatan yang
disepakati oleh bank dana nasabah.[16] Lembaga keuangan yang
menerapkan akad ini adalah bank syariah biasanya pada produk pembiayaan
perumahan (KPR).\
5) Syirkah mas’uliyah al-mahdudah
Syirkah mas’uliyah al-mahdudah (kongsi
pertanggungjawaban terbatas) adalah perkongsian bisnis mirip denagn syirkah
amwal. Dalam Syirkah mas’uliyah al-mahdudah tidak ada badan usaha perkongsian,
dan dalam peraturan perundang-undangan ditetapkan bahwa jumlah syarik yang
berkongsi tidak lebih dari 50 syarik. Setiap syarik bertanggung jawab sesuai
dengan jumlah saham yang dimiliki, oleh karena itu syirkah Syirkah mas’uliyah
al-mahdudah merupakan gabungan natara syirkah amwal dan syirkah abdan. Syirkah
mas’uliyah al-mahdudah dianggap pengembangan dari syirkah amwal karena
pertanggungjawaban syarik terbatas, yaitu sesuai dengan porsi modal (jumlah
saham) yang dimiliki. Apabila kepemilikan saham berpindah pada ahli warisnya,
sementara pengelolaan syirkah nya mirip dengan syirkah musahamah, maka pihak
pemegan saham dibolehkan menunjuk (menetapkan) manajer perusahaan baik yang
berasal dari kalangan pemegang saham ataupun bukan, dan manajer berhak
mendapatkan upah (ujrah) atau pendapatan yang ditentukan secara dinamis yang
berupa prosentasi keuntungan perusahaan. Apabila manajer berasal dari pemegang
saham, maka syirkah tersebut termasuk pengembangan syirkah abdan (syirkah badan
usaha) karena manajerberhak mendapatkan penghasilan sesuai kesepakatan
(prosentase keuntungan atau syirkah irbah), bukan atas dasar saham. Modal yang dinilai
dengan saham tidak dapat dipindahtangankan seperti layaknya saham di pasar
modal. Hukum syirkah mas’uliyah al-mahdudah adalah boleh (ja’iz) dan dianggap
sebagi pengembangan dari syirkah ‘inan. Adapun tanggung jawab syirkah
mas’uliyah al-mahdudah dianggap sebagai pengembangan dari syirkah mudharabah
karena tanggung jawab syarik terbatas pada kuantitas bagiannya, seperti
tanggung jawab shahib al-mal (dalam akad mudharabah) terbatas pada jumlah modal
yang disertakannya.[17] Perseroan terbatas dari
segi konsep syirkah kontemprer disebut syirkah musahamah. Sedangkan lebih
khusus pada PT Terbuka secara konseptual berhubungan dengan syirkah mas’iliyah
mahdudah, karena terdapat kriteria mengenai jumlah pemilik saham dari perseroan
yang bersangkutan.[18]
Soal :
8.
Saat
ini terdapat berbagai bentuk perusahaan modern seperti persekutuan komanditer
(CV), Perusahaan Terbatas (PT), Koperasi, franchise (waralaba), serta
Perusahaan Modal Ventura, jelaskan bentuk-bentuk perusahaan tersebut jika
dilihat dari konsep syirkah?
Jawaban :
a)
CV
(Perusahaan Komanditer), Persekutuan Komanditer dilihat dari segi konsep
syirkah mengandung dua unsur yang disertakan ke dalam perusahaan. Sejumlaha
sekutu atau syarik menyertakan modal dan keahlian atau keterampilan ke dalam
perusahaan, maka termasuk syirkah amwal dan syirkah abdan. Disisi lain terdapat
syarik yang hanya menyertakan modal uang dan barang sebagai modal perusahaan
tanpa ikut serta memimpin atau menyelenggarakan perusahaan, syirkah yang
dilakukannya mirip dengan mudharabah musytakarah. Dilihat dari segi konsep
syirkah kontemporer, identik dengan syirkah taushiyah basithah, yaitu akad
syirkah mutadhamin (pihak yang menyertakan modal usaha serta bertanggung jawab
atas penngelolaan badan usaha) dan mushi (pihak yang menyertakan harta untuk
dijadikan modal badan usaha yang tidakk bertanggung jawab atas manajemen badan
usaha dan juga tidak dibebani kewajiban-kewahiban badan usaha.[19]
b)
PT
(Perusahaan Terbatas), Perseroan terbatas dari segi konsep syirkah kontemprer
disebut syirkah musahamah. Sedangkan lebih khusus pada PT Terbuka secara
konseptual berhubungan dengan syirkah mas’iliyah mahdudah, karena terdapat
kriteria mengenai jumlah pemilik saham dari perseroan yang bersangkutan.[20]
c)
Koperasi,
Dari segi proses pendiriannya termasuk syirkah amwal, dari segi pengelolaan,
koperasi dapat dikelompokkan sebagai syirkah taushiyah bashithah (mutadhamin
dan mushi), dilihat dari kesewenangan untuk mengangkat pengelola aatu
manajemen, koperasi elbih dekat dengan konsep syirkah abdan.[21]
d)
Modal
Ventura, Ialah salah satu bentuk kemitraan yang kegiatan usahanya khusus
bergerak di bidang penyertaan modal saham untuk membantu kalangan usaha yang
mengalami kesulitan modal dari bank. Oleh karena itu PMV dapat dipastikan
melakukan syirkah amwal. Tetapi karena penyertaan modalnya dalam
bentuk saham, PMV juga melakukan syirkah musahamah.[22]
Soal :
9.
Berdasarkan
ketentuan fiqh muamalah, tidak dibenarkan adanya jaminan dalam akad mudharabah
atau musyarakah, jelaskan pandangan saudara terhadap pengenaan jaminan dalam
kedua akad tersebut dalam praktik lembaga keuangan Syariah saat ini.
Jawaban :
Akad
mudharabah dan musyarakah adalah salah satu akad amanah di mana pengelola
dikategorikan sebagai amin atau terpercaya. Oleh karena itu, menurut fikih
tidak bertanggung jawab atas potensi kerugian jika terjadi bukan akibat
kelalaiannya. Jaminan yang dimaksud dalam diskusi
dan fatwa DSN itu bukan rahn atau kolateral atau agunan, melainkan kondisi
pengelola atau syarik atau mitra yang bertanggung jawab atas pengembalian modal
atau tidak. Oleh karena itu, fatwa ini termasuk klausul bahwa nasabah boleh
membuat pernyataan bahwa yang bersangkutan bersedia untuk mengembalikan modal
walaupun posisi usaha tidak untung.
Pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko,
sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas pengkreditan
atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko
tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah
dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk
melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting
yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum
memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak,
kemampuan, modal, agunan, dana prospek usaha dari nasabah debitur”[23]
Begitu juga
pada Penjelasan Pasal 37 ayat (1) dan Pasal 23 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, menegaskan bahwa “Penyaluran dana berdasarkan
Prinsip Syariah oleh Bank Syariah dan UUS mengandung risiko kegagalan
atau kemacetan dalam pelunasannya sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan
Bank Syariah dan UUS”. Untuk itu dan/atau UUS harus mempunyai keyakinan atas
kemauan dan kemampuan calon Nasabah Penerima Fasilitas untuk melunasi seluruh
kewajiban pada waktunya, sebelum Bank Syariah dan/atau UUS menyalurkan dana kepada
Nasabah Penerima Fasilitas. Dan untuk memperoleh keyakinan tersebut. Bank
Syariah dan/atau UUS wajib melakukan penilaian yang seksama terhadap watak,
kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari calon nasabah penerima
fasilitas”[24]
Fatwa
DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 menyebutkan bahwa dalam pembiayaan Musyarakah pada
prinsipnya tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan oleh
nasabah (syarik), bank syariah boleh meminta jaminan. Berlandaskan fatwa
tersebut, dalam pembiayaan Musyarakah kedudukan jaminan hanya sebagai
bentuk kehati-hatian (penerapan prudential banking principle ).
Keberadaan jaminan sebagai bentuk kehati-hatian menjadi hal yang mutlak harus
ada yang harus disediakan oleh pihak nasabah debitur.
Fungsi
jaminan dalam akad musyarakah adalah sebagai salah satu langkah untuk
melindungi dana masyarakat agar tidak hilang begitu saja akibat keteledoran
dari nasabah, hal ini merupakan suatu prinsip kehati-hatian yang diharuskan
oleh pihak manajemen dalam pembiayaan. Bagi nasabah jaminan berfungsi sebagai
cerminan rasa tanggung jawab atas usaha yang diberikan modal olehbank
sehingga dapat menjalankan usahanya dengan serius.
Soal :
10.
Sebut
dan jelaskan satu bentuk transaksi atau kegiatan usaha yang menurut saudara
bertentangan dengan prinsip muamalah/Syariah.
Jawaban :
Transaksi peminjaman yang dilakukan oleh sebuah lembaga keuangan
dimana setiap pinjaman yang diberikan kepada nasabahnya menggunakan akad qard
dan mengenakan biaya tambahan keuntungan yang pasti setiap bulannya sedangkan
modal yang diberikan kepada nasabah adalah modal dengan tujuan modal usaha.
Adapaun terjadi kerugian nasabah harus menanggung kerugian tersebut. Dalam
praktiknya sekilah adalah bentuk kerja sama tetapi secara praktiknya pihak
lembaga keuangan tersebut hanya memberikan sejumlah pinjaman uang dan pinjaman
uang tersebut harus dikembalikan dengan menambahkan sejumlah keuntungan
berdasakan waktunya, semakin lama waktunya maka keuntungan yang harus
dibayarkan nasabah kepada lembaga keuangan tersebut semakin besar.
Pada pinjaman tersebut pihak lembaga keuangan menetapkan jaminan,
jika terjadi kerugian yang bukan disebabkan oleh kelalaian nasabah maka jaminan
tersebut tetap akan dilelang untuk menutupi pinjaman dari si nasabah. Jika
ditelusuri akad yang digunakan adalah akad qard yang tergolong akad tabarru’,
dimana pada akad tersebut tidak diperbolehkan melakukan pengambilan keuntungan.
Dan apa yang telah dilakukan oleh lembaga keuangan tersebut telah menzalimi
pihak nasabah. Dalam konsep dasar ekonomi syariah Allah SWT melarang setiap
manusia dalam melakukan transaksi bermu’amalah melakukan kezaliman terhadap
diri sendiri dan juga orang lain.
Referensi pendukung bacaan:
Hendi
Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajagrafindo, 2002.
Imam
Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kotemporer, Jakarta: RajaGrafindo, 2016
Ahmad
Wardi Muslich, Fiqh Mu’amalat, Jakarta: AMZAH, 2013.
[1]Adiwarman
A.Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 66.
[2]Ashfia, Tazkia,
dkk. Jurnal yang berjudul : Analisis Pengaturan Akad Tabarru’ dan
Akad Tijarah Pada Asuransi Syariah Menurut Fatwa DSN Nomor
21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, hlm.4.
[3]Rachmat Syafie, Fiqih
Muamalat, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2006), hlm. 33.
[4] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainya, (Jakarta:
Rajawali Pers. 2011), hlm 56.
[5] Abdul Aziz
Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat Sistem transaksi dalam
Islam, (Jakarta:Amzah, 2010), hlm 15-17
[6] Makalah
disampaikan pada acara Diskusi Hukum dengan tema “Multi Akad Dalam
Perspektif Ekonomi Syari’ah Kontemporer” yang diadakan di Pengadilan Tinggi
Agama Jawa Barat, hari Kamis 22 Februari 2018.
[7] Derry
Iswidharmanjaya, Dropshipping Cara Mudah Bisnis Online, (Jakarta: PT Elex
Media Komputindo, 2012), hlm. 5.
[8]Wakalah
muthlaqah adalah perwakilan yang tidak terikat syarat tertentu. Sebaliknya
yaitu akad wakalah muqayyadah meuprupakan akad perwakilan yang terikat oleh
syaratsyarat yang ditentukan dan disepakati bersama antara wakil dan muwakil.
Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indoensia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2013), hlm. 185.
[10] Maulana
Hasanudin dan Jaih Mubarok, Perkembangan Akad Musyarakah, (Jakarta:
Kencana, 2012), 55.
[11] Ibid,
hlm. 136.
[12] Ibid,
hlm. 56.
[13] Ibid,
hlm. 142.
[15]
Muhammad
Sharif Chaudry, Sistem Ekonomi Islam: Prinsip Dasar, (Jakarta:
Kencana, 2012), hlm. 211.
[17] Ibid,
hlm. 75.
[19] Ibid, hlm.
142
[20] Ibid, hlm.
147.
[22] Ibid, hlm.
161.
[23]Djamil Fattturahman, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank
Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 42.