BAB
SATU
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Makanan merupakan salah
satu kebutuhan pokok hidup manusia karena dari makanan manusia mendapatkan
zat-zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Zat gizi dibutuhkan tubuh untuk
pertumbuhan, mempertahankan dan memperbaiki jaringan tubuh, mengatur proses
dalam tubuh dan meyediakan energi bagi fungsi tubuh.[1]
Makanan merupakan salah satu produksi yang paling banyak dijumpai di pasaran. Tingkat
kesehatan dan keamanan makanan sering diabaikan oleh para produsen dan
konsumen. Perkembangan industri makanan yang cukup luas saat ini, telah
mendorong produksi makanan dalam variasi bentuk dan rasa. Terlebih lagi
penggunaan bahan pengawet sebagai mempertahankan kualitas makanan.
Allah berfiman dalam Al-Qur’an surah an Nahl (16)
ayat 114
yang
artinya: “Maka
makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu;
dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.”
Makanan yang dikonsumsi oleh manusia
mengandung berbagai unsur. Unsur tersebut ada yang bermanfaat dan ada pula yang
tidak membawa manfaat bagi kesehatan manusia. Berbagai unsur
tersebut dapat berupa enzim, gizi,
maupun toksit (racun). Aditif makanan atau bahan tambahan makanan adalah bahan yang ditambahkan dengan
sengaja ke cita rasa, tekstur,
flavor dan memperpanjang daya simpan makanan.[2]
Makanan dinyatakan mengalami kerusakan jika telah terjadi
perubahan-perubahan yang tidak dikehendaki dari sifatnya. kerusakan dapat
terjadi karena kerusakan fisik, kimia atau enzimatis. Namun secara umum,
kerusakan pangan disebabkan oleh berbagai faktor dimana salah satunya adalah
tumbuhnya bakteri, kamir atau kapang pada pangan yang dapat merusak protein
sehingga mengakibatkan bau busuk, dan juga dapat membentuk lendir, gas, busa,
asam ataupun racun.[3]
Untuk mengatasi masalah
tersebut para pedagang khususnya pedagang makanan atau produsen membumbuhi
bahan tambahan pangan seperti bahan pengawet. Pengertian pengawet makanan dalam
Peraturan Menteri Kesehatan RI No.772/Menkes/Per/IX/88 dan direvisi kembali
menjadi No.1168/Menkes/PER/X/1999 secara umum pengawet adalah bahan yang biasa
tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas
makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja ditambahkan
kedalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan,
perlakuan, pengepakan, pengemasan, dan penyimpanan.[4]
Adapun penggunaan bahan
pengawet pada makanan dalam industri makanan adalah suatu yang biasa. Dapat
dikatakan hampir 90% industri makanan kemasan tidak terlepas dalam penggunaan
bahan pengawet makanan dan masih ada industri makanan yang tidak mencantumkan
label BPOM pada hasil produksinya.[5] Bahan
pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat mudah
rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat proses fermentasi,
pengasaman, atau penguraian yang disebabkan oleh mikroba.[6]
Penggunaan pengawet
dalam pangan harus tepat, baik jenis maupun dosisnya. Suatu bahan mungkin
efektif untuk mengawetkan makanan tertentu, tetapi tidak efektif untuk mengawetkan
pangan lainnya karena pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda sehingga mikroba
perusak yang akan dihambat pertumbuhannya juga berbeda. Pada saat ini masih
banyak ditemukan pengguaan bahan-bahan pengawet yang dilarang untuk digunakan
dalam pangan dan berbahaya bagi kesehatan seperti boraks dan formalin.[7]
Fungsi bahan pengawet memang
sangat terasa manfaatnya bagi produsen makanan, karena tidak semua makanan yang
diproduksi selalu habis terjual dalam satu hari. Pengawetan pada produk makanan
atau minuman menjadi bagian yang tidak terpisahkan pada industri makanan.
Apalagi perkembangan zaman yang menuntut produk makanan dan minuman yang serba
praktis, tahan lama dan memiliki tampilan menarik. Solusi yang dilakukan oleh
industri pangan adalah menambah bahan pengawet agar kualitas produk meningkat
daya tahan lama.
Ada bahan pengawet yang legal menurut BPOM
(Badan Pengawas Obat dan Makanan) dalam keadaan tertentu aman digunakan sebagai
bahan tambahan dalam makanan tetapi juga pada keadaan yang lain dapat
mengganggu kesehatan tentunya misalnya: Benzoat, Propionat, Nitrit, Nitrat,
Sorbat dan Sulfit.[8]
Dan menurut Permenkes No. 772/1988, bahan pengawet yang diizinkan digunakan
dalam makanan dalam kadar tertentu adalah Asam Benzoat, Asam Propionat, Asam
Sorbat, Belerang Dioksida, Metal p-Hidroksi, Benzoat, Kalium Benzoat, Kalium
Bisulfit, Kalium Meta Bisulfit, Kalium Nitrat, Kalium Nitrit, Kalium Propionat,
Kalium Sorbat, Kalium Sulfit, Kalsium Benzoit, Kalsium Propionat, Kalsium
Sorbat, Natrium Benzoat, Metil p-Hidroksi Benzoit, Natrium Bisulfit, Natrium
Metabisulfit, Natrium Nitrat, Natrium Nitrit, Natrium Propionat, Natrium
Sulfit, Nisin dan Propel p-Hidroksi Benzoit.[9]
Bahan pengawet tersebut
jika dikonsumsi dalam waktu yang lama, akumulasi bahan tersebut tetap rawan
menimbulkan gangguan kesehatan. Asam Benzoat sering digunakan sebagai tambahan dalam
produksi saos atau sambal. Tujuan penggunaan bahan pengawet ini dalam kedua
makanan tersebut untuk mencegah pertumbuhan khamir dan bakteri terutama untuk
makanan yang telah dibuka kemasannya. Ambang batas yang diperbolehkannya secara
legal adalah 1000 ppm atau 1 gram per kg bahan (PerMenKes No.
722/Menkes/per/1X/1988). Pemakaian yang berlebih dan sering mengkonsumsi bahan
tersebut akan menimbulkan masalah kesehatan. Pemakaian bahan pengawet natrium
benzoat dalam jangka waktu panjang dapat menimbulkan penyakit Lupus. Efek
samping lainnya yang timbul adalah edema (bengkak) dan dapat menyebabkan
kanker.[10]
Makanan mempunyai
pengaruh yang sangat besar terhadap pertumbuhan dan kesehatan jasmaniah. Hal
yang terpenting yang sering ditegaskan Islam adalah pengaruh makanan terhadap
perkembangan jiwa manusia(mental). Makanan dalam Islam juga mempunyai perhatian
yang lebih jauh dan bukanlah sekadar memenuhi tuntutan hawa nafsu saja, tetapi
juga merupakan suatu ibadah sekira ia diniatkan karena Allah. Kesemua
aturan-aturan atau undang-undang yang Allah gariskan berkaitan dengan makanan
menunjukkan betapa sempurnanya ajaran Islam, betapa agung dan adilnya Allah
dalam mengatur hal ehwal kehidupan manusia.[11]
Abu Ishaq al Shatibi
merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta, yang kemudian disepakati oleh ilmuwan hukum Islam
lainnya.[12]
Untuk menetapkan sebuah hukum, kelima unsur pokok diatas dibedakan menjadi tiga
tingkatan, yaitu dharuriyyat, hajiyyat dan
tahsiniyyat. Pengelompokkan ini
didasarkan pada tingkat kebutuhan dan skala perioritas. Yang dimaksud dengan
memelihara kelompok dharuriyyat adalah
memelihara kebutuhan yang bersifat primer dalam kehidupan manusia. Kebutuhan
primer itu adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta dalam batas
jangan sampai terancam eksistensi kelima kebutuhan pokok itu. Kebutuhan dalam
kelompok hajiyyat tidak termasuk
dalam kebutuhan yang esensial, tidak kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia
dari kesulitan hidupnya. Tidak terpeliharanya kelompok kebutuhan ini tidak akan
mengancam eksistensi kelima pokok di atas, tetapi hanya akan menimbulkan
kesulitan bagi seseorang. Kelompok ini erat kaitannya dengan rukhsah atau
keringanan dalam ilmu fiqih. Sedangakan, kebutuhan dalam kelompok tahsiniyyat adalah kebutuhan yang
menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan dihadapan Allah
Swt.[13]
Oleh karena itu, makanan merupakan kebutuhan primer kehidupan manusia, bahan pengawet sering digunakanan oleh para pedagang atau produsen makanan yang bertujuannya untuk mempertahankan makanan hasil produksinya dan juga untuk mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan. Jika makanan tersebut hanya mampu bertahan dalam jangka waktu yang singkat maka harga makanan tersebut akan mengalami penurunan atau tidak lhttp://myrezashi.blogspot.co.id/aku terjual. Penggunaan bahan pengawet pada makanan akan mempengaruhi dari kualitas makanan tersebut.
Oleh karena itu, makanan merupakan kebutuhan primer kehidupan manusia, bahan pengawet sering digunakanan oleh para pedagang atau produsen makanan yang bertujuannya untuk mempertahankan makanan hasil produksinya dan juga untuk mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan. Jika makanan tersebut hanya mampu bertahan dalam jangka waktu yang singkat maka harga makanan tersebut akan mengalami penurunan atau tidak lhttp://myrezashi.blogspot.co.id/aku terjual. Penggunaan bahan pengawet pada makanan akan mempengaruhi dari kualitas makanan tersebut.
Berdasarkan latar belakang diatas maka
penulis tertarik untuk menulis penelitian ilmiah yang berjudul “Ketentuan Penggunaan Bahan Pengawet Pada
Produksi Makanan (Perspektif Maqashid
Syariah)”.
1.2. Rumusan Masalah
1) Bagaimana
ketentuan penggunaan bahan pengawet pada produksi makanan?
2)
Bagaimana tinjauan maqashid syariah mengenai ketentuan penggunaan bahan pengawet pada
produksi makanan ?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Untuk
mengetahui ketentuan penggunaan bahan pengawet pada produksi makanan.
2.
Untuk mengetahui tinjauan Maqashid Syariah mengenai ketentuan penggunaan
bahan pengawet dalam memproduksi makanan.
1.4.
Penjelasan Istilah
Untuk menghindari terjadinya
kesalahpahaman dan juga mudah memahami istilah dalam penulisan karya ilmiah
ini, maka perlu adanya penjelasan istilah yang dimaksud antara lain:
Ad.1. Bahan Pengawet
Bahan pengawet
merupakan bahan yang digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat
mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian
yang disebabkan oleh mikroba. Penggunaan pengawet dalam pangan harus tepat,
baik jenis maupun dosisnya. Suatu bahan mungkin efektif untuk mengawetkan
makanan tertentu, tetapi tidak efektif untuk mengawetkan pangan lainnya karena
pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda sehingga mikroba perusak yang akan
dihambat pertumbuhannya juga berbeda.[14]
Ad.2. Produksi
Produksi adalah sebuah
proses yang telah terlahir di muka ini semenjak manusia menghuni planet ini.
Produksi sangat prinsip bagi kelangsungan hidup dan juga peradaban manusia dan
bumi. Sesungguhnya produksi lahir dan tumbuh dari menyatunya manusia dengan alam.[15]
Kegiatan produksi merupakan mata rantai dari konsumsi dan distribusi. Kegiatan
produksilah yang menghasilkan barang dan jasa, kemudian dikonsumsi oleh para
konsumen. Konsep dalam berproduksi yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim
atau komunitas adalah berpegang pada semua yang dihalalkan Allah dan tidak
melewati batas.[16]
Ad.3. Makanan
Makanan marupakan salah
satu kebutuhan pokok hidup manusia karena dari makanan manusia mendapatkan
zat-zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Zat gizi dibutuhkan tubuh untuk
pertumbuhan, mempertahankan dan memperbaiki jaringan tubuh, mengatur proses
dalam tubuh dan meyediakan energi bagi fungsi tubuh.[17]
Makanan adalah semua bahan makanan baik dalam bentuk alami maupun dalam bentuk
buatan yang dimakan manusia kecuali air dan obat-obatan.
Ad.4. Maqashid
Syariah
Secara
bahasa, maqashid syari’ah terdiri
dari dua kata yakni, maqashid dan syari’ah. Maqashid adalah bentuk jamak dari maqshid yang berarti kesengajaan atau tujuan, syari’ah berarti
jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air ini dapat pula dikatakan
sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan.[18]Menurut
asy-Syatibi, maqashid syari’ah
merupakan tujuan syari’ah yang lebih memperhatikan kepentingan umum.[19]
1.5. Kajian Kepustakaan
Dari penelusuran
referensi yang ada, tidak banyak karya-karya ilmiyah yang membahas mengenai
persoalan mengenai pengaruh penggunaan bahan pengawet pada makanan dibahas
melalui pandangan agama (maqashid syariah).
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 772/Menkes/Per/IX/88 No.
1168/Menkes/PER/X/1999 telah mengatur bagaimana bahan pangan yang dibolehkan
dalam memproduksi makanan.
Untuk mendukung
penelitian yang lebih
akurat sebagaimana yang telah dikemukakan pada latar belakang
masalah, maka diperlukan karya-karya pendukung
yang memiliki relefansi
terhadap tema yang
dikaji dan untuk memastikan tidak adanya kesamaan dengan
penelitian-penelitian yang telah ada,
maka di bawah ini penulis paparkan beberapa tinjauan pustaka yang
terkait dengan permasalahan dalam penelitian penulis. Kajian kepustakaan ini
dapat berupa hasil penelitian antara lain :
Dalam Esiklopedia Halal
Haram dalam makanan dan minuman, dijelaskan beberapa jenis alkohol, zat kimia
dan tumbuh-tumbuhan yang haram digunakan. Dijelaskan bahwa segala yang buruk
adalah haram dan segala baik adalah halal. Namun, ada kadar kebolehan di
dalamnya. Jika tidak membahayakan namun tidak ada manfaat dan dimanfaatkan
sebab terpaksa, maka kembali kepada hukum asal, yaitu boleh. Jika mengandung
bahaya, maka hukumnya makruh. Jika mengandung bahaya besar, maka hukumnya
haram.[20]
Asmawati[21]
dalam jurnalnya mengatakan bahwa “Sebagai produsen bertanggung jawab terhadap
kualitas barang seperti memproduksi barang yang baik. Ini bermakna bahwa barang
yang diproduksi harus sesuai dengan ketentuan syara’. Produsen tidak boleh
memproduksi barang-barang yang membawa mudarat kepada konsumennya, baik dari
segi agama, moral, kesehatan dan keamanan”.
Sejalan
dengan ini, Muhammad Babili dalam Jurnalnya Produksi
Islami; Kekayaan Menurut Konsep Ibnu Khaldun, mengatakan bahwa seruan
kepada konsumen barang yang baik mestilah diikuti dengan seruan produksi barang
yang baik. Dengan demikian tidak dibenarkan memproduksi barang-barang yang akan
mendatangkan bencana kepada kesehatan dan akhlak.[22]
Penelitian
yang dilakukan oleh Aggun Gayatiri melalui skripsinya[23]
penulis menemukan masalah apakah mie basah yang beredar di pasar Aceh
mengandung bahan pengawet yang dilarang seperti formalin. Bahwa kesimpulan yang ditemukan oleh peneliti,
berdasarkan penelitian di Laboraturium dari beberapa sample mie basah yang ada
di pasar Aceh terdapat kandungan formalin.
Penelitian ini seiring juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Pahruddin[24],
D. Gracecia[25]
dan N. Prayatna[26].
Pada karya ilmiahnya peneliti lebih membahas bagaimana efek formalin pada mie
basah sebelum dan sesudah dimasak. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Rachmi
Darmia melalui skripsinya[27],
peneliti menyimpulkan bahwa terdeteksi adanya kandungan pengawet formalin pada Teri Nasi Asin kering yang
dijual di pasar ikan milik Pemerintah Kota Banda Aceh. Dari penelitian di atas
menyimpulkan bahwa penambahan bahan pengawet pada produksi makanan tidak dapat
dielakkan.
Berdasarkan UU
Pangan No. 7 tahun 1996 telah dijelaskan mengenai keamanan pangan.[28] Dalam
skripsi yang ditulis oleh Hani Tazmiati[29],
bahwa dampak terhadap pangan tercemar sangat berbahaya bagi masyarakat, karena
dalam makanan tersebut mengandung racun atau zat kimia yang dapat membunuh
seseorang baik secara langsung maupun tidak langsung. Dan pandangan Islam
terhadap Pangan No. 7 tahun 1996 pada
pasal 21 dan 55 adalah makanan yang mengandung bahan beracun, zat-zat kimia
baik terkontaminasi karena proses maupun yang langsung, karena dapat berbahaya
bagi manusia adalah haram.
1.6. Metodologi Penelitian
Pada prinsipnya dalam penulisan karya
ilmiah memerlukan data yang lengkap dan objektif serta mempunyai metode
tertentu sesuai dengan permasalahan yang hendak dibahas, langkah-langkah yang
ditempuh dalam penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1.6.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi
ini adalah penelitian kepustakaan ( library
research ), yaitu menggunakan literatur-literatur berupa buku-buku, jurnal,
kamus, dan karya pustaka lain yang berhubungan dengan objek kajian[30]
yang ada hubungannya dengan pokok bahasan.
Penelitian
ini juga melibatkan sebagian data diperoleh dari lapangan, hasil wawancara dan
data-data yang diperoleh melalui media informasi baik media cetak ataupun
elektronik.
1.6.2.
Sifat
Penelitian
Penelitian ini bersifat analisis deskriptif, yaitu menggambarkan
motif penggunaan bahan pengawet pada produksi makanan oleh para produsen
makanan. Kemudian pemaparan tersebut dibuat sebuah kesimpulan dan selanjutnya
dianalisis untuk mendapat kepastian hukum mengenai penggunaan bahan pengawet
pada makanan dari sudut pandang maqashid
syariah.
1.6.3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan
Penelitian yang digunakan adalah pendekatan normatif yaitu menyesuaikan dengan
norma dan hukum yang berlaku. Norma yang menjadi tolak ukurnya adalah ketentuan-ketentuan yang ada pada maqashid syariah. Pendekatan ini digunakan
untuk memperoleh kesimpulan mengenai ketentuan penggunaan bahan pengawet
menurut maqashid syariah.
1.6.4.
Metode
Pengumpulan Data
Dalam
mengumpul data yang berhubungan dengan objek kajian, baik itu data primer
maupun sekunder. Penulis mengambil dari
dua sumber yaitu data yang didapat dari lapangan dan data yang didapat dari
pustaka.
a.
Metode penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan membaca
buku-buku, artikel-artikel, media masa, media internet dan bahan kuliah yang
berkaitan dengan objek penelitian.
b. Metode
penelitian lapangan (field research),
yaitu mengumpulkan data dengan mengadakan penelitian langsung pada BPOM dan
Dinas terkait seperti Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh untuk keperluan data pada
penelitian ini.
1.6.5.
Teknik Pengumpulan Data
1.
Dokumentasi
Pengumpulan data dilakukan dengan penelitian
kepustakaan yaitu dengan memperoleh data primer dan sekunder. Data primer
antara lain, hukum positif yang mengatur penggunaan bahan tambahan pangan
dan hukum Islam yaitu maqashid syariah baik berdasarkan buku
ushul fiqih, filsafat hukum Islam maupun
buku yang berkaitan terhadap pembahasan. Sedangkan data sekunder buku-buku,
artikel-artikel hasil penelitian yang memuat informasi yang ada hubungannya
dengan pembahasan ini dan juga Undang-Undang yang mengatur tentang pangan dan
kesehatan.
2.
Interview
Mengadakan
wawancara untuk teknik pengumpulan data dengan cara tanya jawab secara langsung
dengan pihak
BPOM dan Dinas Kesehatan sebagai inforrman yang berhubungan langsung dengan penelitian ini.
1.6.6.
Analisis Data
Data yang terkumpul akan disaring dan
diolah secara kualitatif untuk memisahkan data yang lebih valid. Pengolahan
data tersebut diperlukan guna kepentingan pembahasan agar lebih mudah dan sistematis.
Kemudian data tersebut disajikan secara deskriptif, yakni menggambarkan
motivasi penggunaan pengawet pada makanan dan dampak dari penggunaan tersebut
pada kesehatan.
Dalam melakukan analisis data, penyusun menggunakan cara dalam
bentuk evaluative, yaitu suatu analisa dari suatu perbuatan atau kegiatan
berdasarkan data kualitatif untuk member penilaian atas perbuatan tersebut.[31]
Dalam hal ini penilaian dilakukan dari sudut pandang maqashid syariah.
1.7. Sistematika Pembahasan
Untuk
memperoleh gambaran awal tentang isi, pembahasan skripsi ini disusun bedasarkan
sistematika sebagai berikut:
Bab satu
pendahuluan, dalam bab ini dibahas tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan, penjelasan istilah, kajian pustaka, dan metode penelitian serta
sistematika pembahasan.
Bab dua
Tinjauan Umum tentang konsep makanan dalam Islam, yaitu fungsi makanan bagi
fisik manusia, petunjuk agama tentang makanan meliputi makanan halal dan Thayyib, tidak berlebih-lebihan, dan
diperoleh dengan jalan yang halal, makanan dan kesehatan dalam Islam, dan juga prinsip-prinsip
produksi dalam Islam.
Bab tiga membahas
tentang analisis maqashid syariah terhadap penggunaan bahan pengawet pada
produksi makanan. Meliputi pembahasan, penggunaan bahan pengawet pada produksi
makanan, dampak penggunaan bahan pengawet bagi kesehatan dan penggunaan bahan
pengawet dalam produksi makanan menurut maqashid
syariah.
Bab
empat yaitu penutup; pada bab ini dideskripsikan kesimpulan penyusun dari hasil
analisis pembahasan dan saran/rekomendasi yang dipandang perlu.
[1]Haris dan Karmas, Evaluasi Gizi Pada Pengelohan Bahan Makanan,(Bandung:
ITB, 1989), hlm. 70.
[2]www.wikipedia.org, Aditif Makanan. Diakses melalui situs: http://id.wikipedia.org/wiki/Aditif_Makanan 20 Juli 2014
[3] Ali Khomsan dkk, Pengantar Pangan dan Gizi, (Bogor:
Penebar Swadaya, 2004), hlm. 9
[4]Wisnu Cahyadi, Analisis & Aspek Kesehatan Bahan
Tambahan Pangan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 1-2
[6] Wisnu Cahyadi, Analisis & Aspek Kesehatan Bahan
Tambahan Pangan, hlm. 5
[7]Ibid
[8]Nurheti Yuliarti, Awas Bahaya Di Balik Lezatnya Makanan,
(Yokyakarta: ANDI, 2007), hlm. 69-77
[10]Nurheti Yuliarti, Awas Bahaya Di Balik Lezatnya Makanan,…
hlm. 69. Dan ditulis juga oleh Ahmad Salis, pengawet-makanan-asam
benzoate, 1 April 2013. Diakses
melalui situs: http://id.wikipedia.org/wiki/Asam_benzoat pada tanggal 1 Desember 2014.
[11]Asmawati, “Konsep Makanan Dalam Islam, Kajian Fiqh Mu’amalah”. Jurnal Ilmiah Prodi
Mu’amalah At-Tasyri ’, Vol. I, No. 3, hal. 284.
[12]Mohammad Abu Ishaq As-Syatibi Ibrahim Bin Musa
Al-Lakmi Al-Gharnathi Al-Maliki, Al-Muwaafaqat fi Ushuli Syari’ah
(Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah Jilid II, 2003), hlm. 129.
[13]Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih, (Jokjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2011), hlm. 164.
[14] Wisnu Cahyadi, Analisis & Aspek Kesehatan Bahan
Tambahan Pangan…., hlm. 5.
[15]Adimarwan Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2007), hlm. 102.
[16]Yusuf Qardhawi, Norma Dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta:
Gema Insani, 1997), hlm. 117.
[17] Haris dan Karmas, Evaluasi Gizi Pada Pengelohan Bahan
Makanan.…, hlm. 70.
[19] Abu Ishaq
Asy-Syatibi Ibrahim Bin Musa Al-Lakmi Al-Gharnathi, Al-Muwafaqat,
(Beirut: Darul Kitab Jilid I, 2003), hlm. 3.
[20] Kamil Musa, Esiklopedi Halal dan Haram dalam Makanan dan Minuman, cet. I
(Surakarta: Ziyad Visi Media, 2006), hal. 206.
[21] Asmawati, “Konsep Makanan Dalam Islam, Kajian Fiqh Mu’amalah”…, hal. 281.
[22]Mahmud Muhammad Babili, “Teori Produksi Islami; Kekayaan Menurut
Konsep Ibnu Khladun”. Jurnal Ekonomi Dari Kacamata Islam, Yayasan Islam Trengganu, 1988, hal. 136
[23]Aggun Gayatiri, “Identifikasi Formalin Pada Mie Basah Sebelum
Dan Sesudah Dimasak Dan Dijual Di Pasar Aceh” (Skripsi tidak dipulikasi), Jurusan Pendidikan Dokter, Fakultas
Kedokteran, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 2012, hlm. 2-3.
[24]Pahruddin, “Aplikasi Bahan Pengawet untuk Memperpanjang Umur Simpan Mie Basah
Matang” (Skripsi tidak dipublikasi),
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor, 2006, hlm. 5.
[25]D. Gracecia, “Profil Mie Basah yang Diperdagangkan di
Bogor dan Jakarta” (Skripsi tidak dipublikasi), Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor, Bogor, 2005, hlm. 54.
[26] N. Prayatna, “Profil Mie Basah yang Diperdagangkan di Tanggerang
dan Bekasi” (Skripsi tidak
dipublikasi), Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor, Bogor, 2005, hlm. 45.
[27] Rachmi Darmia, “Deteksi Kandungan Formalin pada Teri Nasi
(Stolephorus SPP) Asin Kering di Pasar Ikan Milik Pemerintah Kota Banda Aceh” (Skripsi tidak dipublikasi), Jurusan
Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh,
2012, hlm. 1-2.
[28] Keamanan pangan adalah kondisi
dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran
biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan
membahayakan kesehatan manusia.
[29] Hani Tazmiati, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pangan
Tercemar ( Studi Analisa UU. No. 7 Tahun 1996 Pasal 21 dan 55 )” (Skripsi tidak dibulikasi), Prodi
Muamalat, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Hidayatullah,
Jakarta, 2002, hlm. 67.
[30] Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi
Ofset, 1990), hlm. 9
[31]Soejono Soekanto, Penelitian Pengantar Hukum, Cet. III
(Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.