Jumat, 09 Desember 2016

Ketentuan Penggunaan Bahan Pengawet Pada Produksi Makanan (Perspektif Maqashid Syariah)




BAB SATU
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok hidup manusia karena dari makanan manusia mendapatkan zat-zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Zat gizi dibutuhkan tubuh untuk pertumbuhan, mempertahankan dan memperbaiki jaringan tubuh, mengatur proses dalam tubuh dan meyediakan energi bagi fungsi tubuh.[1] Makanan merupakan salah satu produksi yang paling banyak dijumpai di pasaran. Tingkat kesehatan dan keamanan makanan sering diabaikan oleh para produsen dan konsumen. Perkembangan industri makanan yang cukup luas saat ini, telah mendorong produksi makanan dalam variasi bentuk dan rasa. Terlebih lagi penggunaan bahan pengawet sebagai mempertahankan kualitas makanan. 
            Allah berfiman dalam Al-Qur’an surah an Nahl (16) ayat 114 yang artinya: “Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.”
Makanan yang dikonsumsi oleh manusia mengandung berbagai unsur. Unsur tersebut ada yang bermanfaat dan ada pula yang tidak membawa manfaat bagi kesehatan manusia. Berbagai unsur tersebut dapat berupa enzim, gizi, maupun toksit (racun). Aditif makanan atau bahan tambahan makanan adalah bahan yang ditambahkan dengan sengaja ke cita rasa, tekstur, flavor dan memperpanjang daya simpan makanan.[2]
Makanan dinyatakan mengalami kerusakan jika telah terjadi perubahan-perubahan yang tidak dikehendaki dari sifatnya. kerusakan dapat terjadi karena kerusakan fisik, kimia atau enzimatis. Namun secara umum, kerusakan pangan disebabkan oleh berbagai faktor dimana salah satunya adalah tumbuhnya bakteri, kamir atau kapang pada pangan yang dapat merusak protein sehingga mengakibatkan bau busuk, dan juga dapat membentuk lendir, gas, busa, asam ataupun racun.[3]
Untuk mengatasi masalah tersebut para pedagang khususnya pedagang makanan atau produsen membumbuhi bahan tambahan pangan seperti bahan pengawet. Pengertian pengawet makanan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.772/Menkes/Per/IX/88 dan direvisi kembali menjadi No.1168/Menkes/PER/X/1999 secara umum pengawet adalah bahan yang biasa tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja ditambahkan kedalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, dan penyimpanan.[4]
Adapun penggunaan bahan pengawet pada makanan dalam industri makanan adalah suatu yang biasa. Dapat dikatakan hampir 90% industri makanan kemasan tidak terlepas dalam penggunaan bahan pengawet makanan dan masih ada industri makanan yang tidak mencantumkan label BPOM pada hasil produksinya.[5] Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian yang disebabkan oleh mikroba.[6]
Penggunaan pengawet dalam pangan harus tepat, baik jenis maupun dosisnya. Suatu bahan mungkin efektif untuk mengawetkan makanan tertentu, tetapi tidak efektif untuk mengawetkan pangan lainnya karena pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda sehingga mikroba perusak yang akan dihambat pertumbuhannya juga berbeda. Pada saat ini masih banyak ditemukan pengguaan bahan-bahan pengawet yang dilarang untuk digunakan dalam pangan dan berbahaya bagi kesehatan seperti boraks dan formalin.[7]
Fungsi bahan pengawet memang sangat terasa manfaatnya bagi produsen makanan, karena tidak semua makanan yang diproduksi selalu habis terjual dalam satu hari. Pengawetan pada produk makanan atau minuman menjadi bagian yang tidak terpisahkan pada industri makanan. Apalagi perkembangan zaman yang menuntut produk makanan dan minuman yang serba praktis, tahan lama dan memiliki tampilan menarik. Solusi yang dilakukan oleh industri pangan adalah menambah bahan pengawet agar kualitas produk meningkat daya tahan lama.
  Ada bahan pengawet yang legal menurut BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) dalam keadaan tertentu aman digunakan sebagai bahan tambahan dalam makanan tetapi juga pada keadaan yang lain dapat mengganggu kesehatan tentunya misalnya: Benzoat, Propionat, Nitrit, Nitrat, Sorbat dan Sulfit.[8] Dan menurut Permenkes No. 772/1988, bahan pengawet yang diizinkan digunakan dalam makanan dalam kadar tertentu adalah Asam Benzoat, Asam Propionat, Asam Sorbat, Belerang Dioksida, Metal p-Hidroksi, Benzoat, Kalium Benzoat, Kalium Bisulfit, Kalium Meta Bisulfit, Kalium Nitrat, Kalium Nitrit, Kalium Propionat, Kalium Sorbat, Kalium Sulfit, Kalsium Benzoit, Kalsium Propionat, Kalsium Sorbat, Natrium Benzoat, Metil p-Hidroksi Benzoit, Natrium Bisulfit, Natrium Metabisulfit, Natrium Nitrat, Natrium Nitrit, Natrium Propionat, Natrium Sulfit, Nisin dan Propel p-Hidroksi Benzoit.[9]
Bahan pengawet tersebut jika dikonsumsi dalam waktu yang lama, akumulasi bahan tersebut tetap rawan menimbulkan gangguan kesehatan. Asam Benzoat sering digunakan sebagai tambahan dalam produksi saos atau sambal. Tujuan penggunaan bahan pengawet ini dalam kedua makanan tersebut untuk mencegah pertumbuhan khamir dan bakteri terutama untuk makanan yang telah dibuka kemasannya. Ambang batas yang diperbolehkannya secara legal adalah 1000 ppm atau 1 gram per kg bahan (PerMenKes No. 722/Menkes/per/1X/1988). Pemakaian yang berlebih dan sering mengkonsumsi bahan tersebut akan menimbulkan masalah kesehatan. Pemakaian bahan pengawet natrium benzoat dalam jangka waktu panjang dapat menimbulkan penyakit Lupus. Efek samping lainnya yang timbul adalah edema (bengkak) dan dapat menyebabkan kanker.[10]
Makanan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pertumbuhan dan kesehatan jasmaniah. Hal yang terpenting yang sering ditegaskan Islam adalah pengaruh makanan terhadap perkembangan jiwa manusia(mental). Makanan dalam Islam juga mempunyai perhatian yang lebih jauh dan bukanlah sekadar memenuhi tuntutan hawa nafsu saja, tetapi juga merupakan suatu ibadah sekira ia diniatkan karena Allah. Kesemua aturan-aturan atau undang-undang yang Allah gariskan berkaitan dengan makanan menunjukkan betapa sempurnanya ajaran Islam, betapa agung dan adilnya Allah dalam mengatur hal ehwal kehidupan manusia.[11]
Abu Ishaq al Shatibi merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, yang kemudian disepakati oleh ilmuwan hukum Islam lainnya.[12] Untuk menetapkan sebuah hukum, kelima unsur pokok diatas dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu dharuriyyat, hajiyyat dan tahsiniyyat. Pengelompokkan ini didasarkan pada tingkat kebutuhan dan skala perioritas. Yang dimaksud dengan memelihara kelompok dharuriyyat adalah memelihara kebutuhan yang bersifat primer dalam kehidupan manusia. Kebutuhan primer itu adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta dalam batas jangan sampai terancam eksistensi kelima kebutuhan pokok itu. Kebutuhan dalam kelompok hajiyyat tidak termasuk dalam kebutuhan yang esensial, tidak kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan hidupnya. Tidak terpeliharanya kelompok kebutuhan ini tidak akan mengancam eksistensi kelima pokok di atas, tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan bagi seseorang. Kelompok ini erat kaitannya dengan rukhsah atau keringanan dalam ilmu fiqih. Sedangakan, kebutuhan dalam kelompok tahsiniyyat adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan dihadapan Allah Swt.[13]
            Oleh karena itu, makanan merupakan kebutuhan primer kehidupan manusia, bahan pengawet sering digunakanan oleh para pedagang atau produsen makanan yang bertujuannya untuk mempertahankan makanan hasil produksinya dan juga untuk mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan. Jika makanan tersebut hanya mampu bertahan dalam jangka waktu yang singkat maka harga makanan tersebut akan mengalami penurunan atau tidak lhttp://myrezashi.blogspot.co.id/aku terjual. Penggunaan bahan pengawet pada makanan akan mempengaruhi dari kualitas makanan tersebut.
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk menulis penelitian ilmiah yang berjudul “Ketentuan Penggunaan Bahan Pengawet Pada Produksi Makanan (Perspektif Maqashid Syariah)”.
1.2. Rumusan Masalah
1)      Bagaimana ketentuan penggunaan bahan pengawet pada produksi makanan?
2)      Bagaimana tinjauan maqashid syariah mengenai ketentuan penggunaan bahan pengawet pada produksi makanan ?
1.3.  Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui ketentuan penggunaan bahan pengawet pada produksi makanan.
2.      Untuk mengetahui tinjauan Maqashid Syariah mengenai ketentuan penggunaan bahan pengawet dalam memproduksi makanan.
1.4.   Penjelasan Istilah
Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman dan juga mudah memahami istilah dalam penulisan karya ilmiah ini, maka perlu adanya penjelasan istilah yang dimaksud antara lain:
Ad.1.  Bahan Pengawet
Bahan pengawet merupakan bahan yang digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian yang disebabkan oleh mikroba. Penggunaan pengawet dalam pangan harus tepat, baik jenis maupun dosisnya. Suatu bahan mungkin efektif untuk mengawetkan makanan tertentu, tetapi tidak efektif untuk mengawetkan pangan lainnya karena pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda sehingga mikroba perusak yang akan dihambat pertumbuhannya juga berbeda.[14]
Ad.2. Produksi
Produksi adalah sebuah proses yang telah terlahir di muka ini semenjak manusia menghuni planet ini. Produksi sangat prinsip bagi kelangsungan hidup dan juga peradaban manusia dan bumi. Sesungguhnya produksi lahir dan tumbuh dari menyatunya manusia dengan alam.[15] Kegiatan produksi merupakan mata rantai dari konsumsi dan distribusi. Kegiatan produksilah yang menghasilkan barang dan jasa, kemudian dikonsumsi oleh para konsumen. Konsep dalam berproduksi yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim atau komunitas adalah berpegang pada semua yang dihalalkan Allah dan tidak melewati batas.[16]
Ad.3.  Makanan
Makanan marupakan salah satu kebutuhan pokok hidup manusia karena dari makanan manusia mendapatkan zat-zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Zat gizi dibutuhkan tubuh untuk pertumbuhan, mempertahankan dan memperbaiki jaringan tubuh, mengatur proses dalam tubuh dan meyediakan energi bagi fungsi tubuh.[17] Makanan adalah semua bahan makanan baik dalam bentuk alami maupun dalam bentuk buatan yang dimakan manusia kecuali air dan obat-obatan.
Ad.4.  Maqashid Syariah
Secara bahasa, maqashid syari’ah terdiri dari dua kata yakni, maqashid dan syari’ah. Maqashid adalah bentuk jamak dari maqshid yang berarti kesengajaan atau tujuan, syari’ah berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan.[18]Menurut asy-Syatibi, maqashid syari’ah merupakan tujuan syari’ah yang lebih memperhatikan kepentingan umum.[19]


1.5.   Kajian Kepustakaan
Dari penelusuran referensi yang ada, tidak banyak karya-karya ilmiyah yang membahas mengenai persoalan mengenai pengaruh penggunaan bahan pengawet pada makanan dibahas melalui pandangan agama (maqashid syariah). Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 772/Menkes/Per/IX/88 No. 1168/Menkes/PER/X/1999 telah mengatur bagaimana bahan pangan yang dibolehkan dalam memproduksi makanan.
Untuk  mendukung  penelitian  yang  lebih  akurat  sebagaimana  yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah, maka diperlukan karya-karya pendukung  yang  memiliki  relefansi  terhadap  tema  yang  dikaji  dan  untuk memastikan tidak adanya kesamaan dengan penelitian-penelitian yang telah ada,  maka di bawah ini penulis paparkan beberapa tinjauan pustaka yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian penulis. Kajian kepustakaan ini dapat berupa hasil penelitian antara lain :  
Dalam Esiklopedia Halal Haram dalam makanan dan minuman, dijelaskan beberapa jenis alkohol, zat kimia dan tumbuh-tumbuhan yang haram digunakan. Dijelaskan bahwa segala yang buruk adalah haram dan segala baik adalah halal. Namun, ada kadar kebolehan di dalamnya. Jika tidak membahayakan namun tidak ada manfaat dan dimanfaatkan sebab terpaksa, maka kembali kepada hukum asal, yaitu boleh. Jika mengandung bahaya, maka hukumnya makruh. Jika mengandung bahaya besar, maka hukumnya haram.[20]
Asmawati[21] dalam jurnalnya mengatakan bahwa “Sebagai produsen bertanggung jawab terhadap kualitas barang seperti memproduksi barang yang baik. Ini bermakna bahwa barang yang diproduksi harus sesuai dengan ketentuan syara’. Produsen tidak boleh memproduksi barang-barang yang membawa mudarat kepada konsumennya, baik dari segi agama, moral, kesehatan dan keamanan”.
Sejalan dengan ini, Muhammad Babili dalam Jurnalnya Produksi Islami; Kekayaan Menurut Konsep Ibnu Khaldun, mengatakan bahwa seruan kepada konsumen barang yang baik mestilah diikuti dengan seruan produksi barang yang baik. Dengan demikian tidak dibenarkan memproduksi barang-barang yang akan mendatangkan bencana kepada kesehatan dan akhlak.[22]
Penelitian yang dilakukan oleh Aggun Gayatiri melalui skripsinya[23] penulis menemukan masalah apakah mie basah yang beredar di pasar Aceh mengandung bahan pengawet yang dilarang seperti formalin. Bahwa kesimpulan yang ditemukan oleh peneliti, berdasarkan penelitian di Laboraturium dari beberapa sample mie basah yang ada di pasar Aceh terdapat kandungan formalin. Penelitian ini seiring juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Pahruddin[24], D. Gracecia[25] dan N. Prayatna[26]. Pada karya ilmiahnya peneliti lebih membahas bagaimana efek formalin pada mie basah sebelum dan sesudah dimasak. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Rachmi Darmia melalui skripsinya[27], peneliti menyimpulkan bahwa terdeteksi adanya kandungan pengawet formalin pada Teri Nasi Asin kering yang dijual di pasar ikan milik Pemerintah Kota Banda Aceh. Dari penelitian di atas menyimpulkan bahwa penambahan bahan pengawet pada produksi makanan tidak dapat dielakkan.
Berdasarkan UU Pangan No. 7 tahun 1996 telah dijelaskan mengenai keamanan pangan.[28] Dalam skripsi yang ditulis oleh Hani Tazmiati[29], bahwa dampak terhadap pangan tercemar sangat berbahaya bagi masyarakat, karena dalam makanan tersebut mengandung racun atau zat kimia yang dapat membunuh seseorang baik secara langsung maupun tidak langsung. Dan pandangan Islam terhadap  Pangan No. 7 tahun 1996 pada pasal 21 dan 55 adalah makanan yang mengandung bahan beracun, zat-zat kimia baik terkontaminasi karena proses maupun yang langsung, karena dapat berbahaya bagi manusia adalah haram.
1.6.   Metodologi Penelitian
Pada prinsipnya dalam penulisan karya ilmiah memerlukan data yang lengkap dan objektif serta mempunyai metode tertentu sesuai dengan permasalahan yang hendak dibahas, langkah-langkah yang ditempuh dalam penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1.6.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian kepustakaan ( library research ), yaitu menggunakan literatur-literatur berupa buku-buku, jurnal, kamus, dan karya pustaka lain yang berhubungan dengan objek kajian[30] yang ada hubungannya dengan pokok bahasan.
Penelitian ini juga melibatkan sebagian data diperoleh dari lapangan, hasil wawancara dan data-data yang diperoleh melalui media informasi baik media cetak ataupun elektronik.
1.6.2.      Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat analisis deskriptif, yaitu menggambarkan motif penggunaan bahan pengawet pada produksi makanan oleh para produsen makanan. Kemudian pemaparan tersebut dibuat sebuah kesimpulan dan selanjutnya dianalisis untuk mendapat kepastian hukum mengenai penggunaan bahan pengawet pada makanan dari sudut pandang maqashid syariah.
1.6.3.      Pendekatan Penelitian
            Pendekatan Penelitian yang digunakan adalah pendekatan normatif yaitu menyesuaikan dengan norma dan hukum yang berlaku. Norma yang menjadi tolak ukurnya  adalah ketentuan-ketentuan yang ada pada maqashid syariah. Pendekatan ini digunakan untuk memperoleh kesimpulan mengenai ketentuan penggunaan bahan pengawet menurut maqashid syariah.
1.6.4.      Metode Pengumpulan Data
            Dalam mengumpul data yang berhubungan dengan objek kajian, baik itu data primer maupun  sekunder. Penulis mengambil dari dua sumber yaitu data yang didapat dari lapangan dan data yang didapat dari pustaka.
a.       Metode penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan membaca buku-buku, artikel-artikel, media masa, media internet dan bahan kuliah yang berkaitan dengan objek penelitian.
b.      Metode penelitian lapangan (field research), yaitu mengumpulkan data dengan mengadakan penelitian langsung pada BPOM dan Dinas terkait seperti Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh untuk keperluan data pada penelitian ini.
1.6.5.    Teknik Pengumpulan Data
1.    Dokumentasi
Pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan yaitu dengan memperoleh data primer dan sekunder. Data primer antara lain, hukum positif yang mengatur penggunaan bahan tambahan pangan dan  hukum Islam yaitu maqashid syariah baik berdasarkan buku ushul fiqih, filsafat hukum Islam  maupun buku yang berkaitan terhadap pembahasan. Sedangkan data sekunder buku-buku, artikel-artikel hasil penelitian yang memuat informasi yang ada hubungannya dengan pembahasan ini dan juga Undang-Undang yang mengatur tentang pangan dan kesehatan.
2.    Interview
Mengadakan wawancara untuk teknik pengumpulan data dengan cara tanya jawab secara langsung dengan pihak BPOM dan Dinas Kesehatan sebagai inforrman yang berhubungan langsung dengan penelitian ini.
1.6.6.   Analisis Data
Data yang terkumpul akan disaring dan diolah secara kualitatif untuk memisahkan data yang lebih valid. Pengolahan data tersebut diperlukan guna kepentingan pembahasan agar lebih mudah dan sistematis. Kemudian data tersebut disajikan secara deskriptif, yakni menggambarkan motivasi penggunaan pengawet pada makanan dan dampak dari penggunaan tersebut pada kesehatan.
Dalam melakukan analisis data, penyusun menggunakan cara dalam bentuk evaluative, yaitu suatu analisa dari suatu perbuatan atau kegiatan berdasarkan data kualitatif untuk member penilaian atas perbuatan tersebut.[31] Dalam hal ini penilaian dilakukan dari sudut pandang maqashid syariah.
1.7.   Sistematika Pembahasan
Untuk memperoleh gambaran awal tentang isi, pembahasan skripsi ini disusun bedasarkan sistematika sebagai berikut:
Bab satu pendahuluan, dalam bab ini dibahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, penjelasan istilah, kajian pustaka, dan metode penelitian serta sistematika pembahasan.
Bab dua Tinjauan Umum tentang konsep makanan dalam Islam, yaitu fungsi makanan bagi fisik manusia, petunjuk agama tentang makanan meliputi makanan halal dan Thayyib, tidak berlebih-lebihan, dan diperoleh dengan jalan yang halal, makanan dan kesehatan dalam Islam, dan juga prinsip-prinsip produksi dalam Islam.
Bab tiga membahas tentang analisis maqashid syariah  terhadap penggunaan bahan pengawet pada produksi makanan. Meliputi pembahasan, penggunaan bahan pengawet pada produksi makanan, dampak penggunaan bahan pengawet bagi kesehatan dan penggunaan bahan pengawet dalam produksi makanan menurut maqashid syariah.
Bab empat yaitu penutup; pada bab ini dideskripsikan kesimpulan penyusun dari hasil analisis pembahasan dan saran/rekomendasi yang dipandang perlu.


[1]Haris dan Karmas, Evaluasi Gizi Pada Pengelohan Bahan Makanan,(Bandung: ITB, 1989), hlm. 70.
[2]www.wikipedia.org, Aditif Makanan. Diakses melalui situs: http://id.wikipedia.org/wiki/Aditif_Makanan 20 Juli 2014
[3] Ali Khomsan dkk, Pengantar Pangan dan Gizi, (Bogor: Penebar Swadaya, 2004), hlm. 9
[4]Wisnu Cahyadi, Analisis & Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 1-2
[5] www.kompas.com, “Pengawet”. Diakses melalui situs: www.kompas.com  pada tanggal 1 Desember  2014
[6] Wisnu Cahyadi, Analisis & Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan, hlm. 5
[7]Ibid

[8]Nurheti Yuliarti, Awas Bahaya Di Balik Lezatnya Makanan, (Yokyakarta: ANDI, 2007), hlm. 69-77
[9]www.kompas.com, “Pengawet”. Diakses melalui situs: www.kompas.com pada tanggal 1 Desember  2014
[10]Nurheti Yuliarti, Awas Bahaya Di Balik Lezatnya Makanan,… hlm. 69. Dan ditulis juga oleh Ahmad Salis, pengawet-makanan-asam benzoate, 1 April 2013.  Diakses melalui situs: http://id.wikipedia.org/wiki/Asam_benzoat pada tanggal 1 Desember 2014.
[11]Asmawati, “Konsep Makanan Dalam Islam, Kajian Fiqh Mu’amalah”. Jurnal Ilmiah Prodi Mu’amalah At-Tasyri ’, Vol. I, No. 3, hal. 284.
[12]Mohammad Abu Ishaq As-Syatibi Ibrahim Bin Musa Al-Lakmi Al-Gharnathi Al-Maliki, Al-Muwaafaqat fi Ushuli Syari’ah (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah Jilid II, 2003), hlm. 129.
[13]Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih, (Jokjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 164.
[14] Wisnu Cahyadi, Analisis & Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan…., hlm. 5.
[15]Adimarwan Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 102.
[16]Yusuf Qardhawi, Norma Dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta: Gema Insani, 1997), hlm. 117.
[17] Haris dan Karmas, Evaluasi Gizi Pada Pengelohan Bahan Makanan.…, hlm. 70.
[18] Totok, Kamus Ushul Fiqih (Jakarta: Dana Bakti Wakaf, 2005), hlm. 97.
[19] Abu Ishaq Asy-Syatibi Ibrahim Bin Musa Al-Lakmi Al-Gharnathi, Al-Muwafaqat, (Beirut: Darul Kitab Jilid I, 2003), hlm. 3.
[20] Kamil Musa, Esiklopedi Halal dan Haram dalam Makanan dan Minuman, cet. I (Surakarta: Ziyad Visi Media, 2006), hal. 206.
[21] Asmawati, “Konsep Makanan Dalam Islam, Kajian Fiqh Mu’amalah”…, hal. 281.
[22]Mahmud Muhammad Babili, “Teori Produksi Islami; Kekayaan Menurut Konsep Ibnu Khladun”. Jurnal Ekonomi Dari Kacamata Islam, Yayasan Islam  Trengganu, 1988, hal. 136
[23]Aggun Gayatiri, “Identifikasi Formalin Pada Mie Basah Sebelum Dan Sesudah Dimasak Dan Dijual Di Pasar Aceh (Skripsi tidak dipulikasi), Jurusan Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 2012, hlm. 2-3.
[24]Pahruddin, “Aplikasi Bahan Pengawet untuk Memperpanjang Umur Simpan Mie Basah Matang” (Skripsi tidak dipublikasi),  Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor, 2006, hlm. 5.
[25]D. Gracecia, “Profil Mie Basah yang Diperdagangkan di Bogor dan Jakarta” (Skripsi tidak dipublikasi), Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor, 2005, hlm. 54.
[26] N. Prayatna, “Profil Mie Basah yang Diperdagangkan di Tanggerang dan Bekasi (Skripsi tidak dipublikasi),  Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor, 2005, hlm. 45.
[27] Rachmi Darmia, “Deteksi Kandungan Formalin pada Teri Nasi (Stolephorus SPP) Asin Kering di Pasar Ikan Milik Pemerintah Kota Banda Aceh (Skripsi tidak dipublikasi), Jurusan Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 2012, hlm. 1-2.
[28] Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.
[29] Hani Tazmiati, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pangan Tercemar ( Studi Analisa UU. No. 7 Tahun 1996 Pasal 21 dan 55 ) (Skripsi tidak dibulikasi), Prodi Muamalat, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Hidayatullah, Jakarta, 2002, hlm. 67.
[30] Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Ofset, 1990), hlm. 9
[31]Soejono Soekanto, Penelitian Pengantar Hukum, Cet. III (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.