Bab
Pembahasan
Riba
A.
Defenisi Riba
Ar-Riba
merupakan isim masqhur yang di ambil dari kata rabaa – yarbuu, sehingga ditulis dengan
alif ar-ribaa (الربا
Riba
secara bahasa bermakna tambahan ( al
ziyadah ). Dalam pengertian lain, secara liguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar.[1]
Allah
Ta’ala telah melarang bentuk transaksi yang dapat menimbulkan perkara Riba,
Allah Ta’ala berfirman :
“Artinya
: Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”.[2]
Dari
Jabir ra, ia berkata:
لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم آكل الربا، وموكله،
وكاتبه، وشاهديه، وقال: هم سواء
“Rasulullah Saw
melaknat orang yang memakan riba, orang yang mewakilinya, pencatatnya dan dua
saksinya. Beliau bersabda, “Mereka semua sama.”[3]
Allah Ta’ala telah menghalalkan
jual-beli yang tidak bertentangan dengan Syara’ bukan jual-beli yang ada di
dalamnya unsur riba. Dalam transaksi jual-beli riba sangat rentan terjadi
dikarenakan riba merupakan tambahan yang dikenakan dalam transaksi jual-beli
atau mu’amalah.
Ulama Syafi’iyah memberikan definisi riba sebagai
berikut :
وشرعا : عقد
على عوض مخصوص غير معلوم التماثل فى معيار الشرع حالة العقد أو مع تأ خير فى
البدلين أو أحدهما
“Menurut
syara’ riba adalah akad atas ‘iwadh (penukaran) tertentu yang tidak diketahui
persamaannya dalam ukuran syara’ pada waktu akad atau dengan mengakhirkan
(menunda) kedua penukaran tersebut atau salah satunya.[4]
Dari definisi di atas dapat dikatakan bahwa riba tidak hanya timbul
pada transaksi jual-beli saja tetapi juga dapat timbul melalui proses barter
dan ini dapat dilihat pada bentuk-bentuk riba pada penjelasan berikutnya.
1.
Konsep Riba
dalam agama Yahudi
Orang-orang Yahudi dilarang mempraktikkan pengambilan riba/bunga.
Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka seperti didalam
undang-undang Talmud.
Kitab Levicitus (Imamat) pasal, 25
ayat 36-37 menyatakan,
“Janganlah
engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut
akan Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup diantaramu. Janganlah engkau memberi
uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan
dengan meminta riba.”
Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan,
“Janganlah engkau membungakan uang kepada saudaramu, baik uang maupun
bahan makanan, atau apapun yang dapat dibungakan.”
Kitab Eksodus (Keluaran) pasal 22
ayat 25 menyatakan,
“Jika engkau meminjamkan uang kepada salah
seorang umatku, orang yang miskin diantaramu, maka janganlah engkau berlaku
sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga
terhadapnya.”[5]
2.
Konsep Riba
dalam agama Kristen
Kitab Perjanjian Baru tidak
menyebutkan permasalahan ini dengan jelas. Akan tetapi, sebagian kalangan
Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-35 sebagian ayat
yang mengancam praktik pengambilan bunga atau riba. Ayat tersebut menyatakan,
“Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada
orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun
meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi
kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak
mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak
Tuhan Yang Maha Tinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu
berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat”[6]
Dengan
demikian permasalahan riba tidak hanya menjadi pembicaraan bagi umat Islam
tetapi juga oleh kaum Yahudi maupun Kristen. Praktik riba tidak hanya dilarang
bagi umat muslim saja tetapi juga kepada umat-umat terdahulu, ini dapat dilihat
di dalam Kitab umat Yahudi maupun Kristen tentang pelarangan praktik riba.
B. Macam-Macam Riba di Dalam Transaksi Jual-Beli
Jumhur
ulama membagi riba dalam dua bagian,yaitu riba fadhl dan
riba nasi’ah.
a) Riba Fadhl
Definisinya adalah adanya tafadhul
(selisih timbangan) pada dua perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya
tamatsul (kesamaan timbangan/ukuran) padanya.
Riba jenis ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan riba khafi (samar), sebab riba ini merupakan pintu menuju riba nasi`ah.[7] Riba Fadhl juga diartikan sebagai jual beli uang dengan uang atau makanan dengan makanan dengan ada tambahan[8] atau suatu pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.[9]
Riba jenis ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan riba khafi (samar), sebab riba ini merupakan pintu menuju riba nasi`ah.[7] Riba Fadhl juga diartikan sebagai jual beli uang dengan uang atau makanan dengan makanan dengan ada tambahan[8] atau suatu pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.[9]
b) Riba Nasi’ah
Riba
nasiah adalah jual-beli yang pembayaranya diakhirkan tapi
pembayarannya dilebihkan. Riba dalam nasi’ah
muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang
diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.[10]
C. Pengharaman
Riba dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits
Riba merupakan suatu bentuk
transaksi yang diharamkan dan termasuk perbuatan tercela. Riba diharamkan di
dalam Nash Al-Qur’an dan Al-Hadits maupun menurut Ijma’ para Ulama.
1. Larangan
Riba dalam Al-Qur’an
Larangan riba dalam Al-Qur’an ada
beberapa tahap. Faktor yang membuat praktik riba diharamkan melalui beberapa
tahap karena praktik riba di masa jahiliyyah merupakan transaksi yang sudah
biasa dilakukan dan mereka sangatlah sulit meninggalkan transaksi riba
tersebut.
Tahap-tahap pelarangannya :
1) Q.S. Ar Rum
(30) Ayat 39 yang terjemahannya:
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu
berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu todak menambah pada
sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang yang
melipat-gandakan (pahalana).”[11]
2)
Q.S. An Nisa (4) Ayat 160-161 yang
terjemahannya:
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang yahudi,
Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya)
dihalalkan bagi mereka, dan mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan
Allah.
Dan disebabkan mereka memakan riba,
padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan kerena mereka
memakan harta orang-orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih.”[12]
3)
Q.S. Al Imran (3) Ayat 130 yang
diterjemahannya
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat-ganda dan bertawakallah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan.”[13]
4)
Q.S. Al Baqarah (2) Ayat 275 yang
diterjemahkannya:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba
tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang kemasukan setan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah
disebabkab mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepada larangan dari Tuhannya lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datangnya larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang
mengulangi (mengambil riba) maka orng itu adalah penghuni neraka; mereka kekal
didalamnya.”[14]
5) Q.S. Al
Baqarah (2) Ayat 276 yang terjemahannya:
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan
sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan
selalu berbuat dosa.”[15]
6) Q.S. Al
Baqarah (2) Ayat 278 yang terjemahannya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertawakallah
kepada Allah dan tinggalkna sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orng-orang
yang beriman.”[16]
7)
Q.S Al Baqarah (2) Ayat 279 yang
terjemahannya:
“Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”[17]
2.
Larangan Riba dalam Hadits
Riba tidak hanya dilarang di dalam
Al-Qur’an saja tetapi juga disebutkan di dalam al-hadits. Al-hadits mempunyai
peran penting dalam memahami teks Al-Qur’an karena al-hadits merupakan
penjelasan lebih lanjut dari Al-Qur’an.
Dalam amanat terakhirnya pada
tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah, Rasulullah Saw. Masih menekankan sikap
Islam yang melarang riba.
“Ingatlah
bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu dan Dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah
telah melarang kamu mengambil riba. Olek karena itu, utang akibat riba harus dihapuskan.
Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan.”[18]
D. Praktek
Pengambilan Bunga pada Bank dan Hukumnya dalam pandangan Islam
Bunga (Interest) merupakan biaya sewa terhadap sejumlah pokok pinjaman
karena pengaruh jangka waktu tertentu yang dijatuhkan kepada si peminjam.
Pengambilan bunga ini biasanya dipraktekkan oleh bank-bank konvensional. Bunga
juga diartikan sebagai kompensasi yang wajar diberikan
pada nasabah agar yang bersangkutan tidak dirugikan.[19]
Bank-bank konvesional memberikan bunga kepada setiap nasabahnya sebagai bentuk
penghargaan atau hadiah dari bank kepada nasabah karena telah menyimpan sejumlah
uangnya pada bank tersebut, sehingga praktek pengambilan bunga pada bank
merupakan hal biasa didalam dunia perbankan.
Definisi bunga diatas maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa bunga disebut juga dengan riba. Pengambilan bunga yang
dipratekkan oleh bank-bank konvensional merupakan bentuk transaksi riba
nasi’ah. Sehingga transaksi tersebut dilarang (diharamkan) dalam Islam.
E. Dampak
Negatif Riba
Di antara dampak ekonomi riba adalah
dampak inflatoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang. Hal tersebut
tersebut disebabkan karena salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku
bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang ditetapkan
pada suatu barang. Dampak lainnya adalah bahwa hutang, dengan rendahnya tingkat
penerimaan pinjaman dan tingginya biaya bunga, aka menjadikan peminjam tidak
pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas hutang
tersebut dibungakan.
Reference
Muhammad
Syfafi’i Antonio, Bank Syariah, Jakarta:
Gema Insani, 2007.
Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahan, Jakarta: CV
Penerbit J-ART, 2003.
‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al Wajiz (terj. Team tashfiyah LIPIA –
Jakarta), Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2007.
Abi
Al-‘Abbas Ahmad Ar-Ramli, Nihayah Al-Muhtaj, Juz 3, Beirut: Dar Al-Fikr,
2004.
Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin
, “Macam-Macam Riba,” Majalah AsySyariah, no. 028, http://asysyariah.com/macam-macam-riba.html#aainfo.
Ardik, Pengertian dan Definisi Bunga, Maret 2012, http://ardik-cafesoftware.blogspot.com
[1] Muhammad Syfafi’i
Antonio, Bank Syariah, (Jakarta: Gema
Insani, 2007), hal. 37. Dikutip dari Abdullah saeed, Islamic Banking and Interest: A Study of the prohibition of Riba and
its Contemporary Interpretation (Leiden: EJ Brill, 1996).
[2]Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: CV
Penerbit J-ART, 2003), hlm. 48.
[3] ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi
al-Khalafi, Al Wajiz (terj. Team
tashfiyah LIPIA – Jakarta), (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2007), hlm. 575.
[6] Ibid., hlm. 45.
[7] Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad
Afifuddin
, “Macam-Macam Riba,” Majalah AsySyariah, no. 028, http://asysyariah.com/macam-macam-riba.html#aainfo (di
akses 18 Mai 2012).
[8] ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi
al-Khalafi, hlm. 576.
[9] Mu hammad Syfafi’i
Antonio, Bank Syariah, hlm. 41.
[10] Ibid., hlm. 41.
[11]Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahan, hlm. 409.
[15]Ibid.
[16]Ibid.
[17]Ibid.
[18]Mu hammad Syfafi’i
Antonio, Bank Syariah, hlm. 51.
[19]Ardik,
Pengertian dan Definisi Bunga, Maret
2012. Diakses pada tanggal 7 Juni 2012 dari situs: http://ardik-cafesoftware.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.